Di tanah pertiwi, ijazah bersinar,
Namun harapan terjerat di antara realita,
Lembaran kertas, simbol perjuangan,
Membawa beban mimpi yang tak kunjung nyata.
Dari kampus ke pabrik, dari kantor ke jalan,
Ribuan langkah terayun di jalanan panas,
Lowongan diangankan, tapi sulit ditemukan,
Kualifikasi tinggi, gaji tak sepadan.
Antrian panjang di depan layar,
Setiap klik semangat menipis,
Satu per satu, lamaran dilayangkan,
Hanya suara hampa yang menjawab, "tidak".
Kawan-kawanku, sarjana dengan cita,
Berkeliling negeri, mengusung mimpi,
Bila kota besar tak memberi jaminan,
Jalan desa pun tak berani di lalui.
Peta karir berkabut kabar,
Mendengar mereka berkiprah di negeri asing,
Di bumi sendiri, rasa terasing,
Rindu kesempatan, keterpurukan menyelimuti.
Diskusi di warung kopi tak berujung,
Tentang kebijakan yang tak berpihak,
Birokrasi membelit, harapan melemah,
Sementara inflasi terus memanjat.
Satu harap yang tak akan padam,
Di dalam jiwa, semangat tak akan musnah,
Mimpi, meski terus tertunda,
Menjadi bahan bakar, tetap berjuang dan berdoa.
Sarjana, meski dunia kelam,
Kita adalah cahaya dalam kesunyian,
Tinggalkan jejak di bumi pertiwi,
Untuk masa depan yang lebih bersinar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI