Di sebuah kota kecil yang damai, hiduplah seorang pemuda bernama Arman. Arman adalah seseorang yang tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain tentang dirinya. Ia sering kali dicap sombong dan tidak peduli oleh tetangganya. Namun, di balik sikapnya yang tampak acuh, tersembunyi kisah yang hanya sedikit orang mengetahuinya.
Arman bekerja sebagai seorang tukang kayu. Setiap hari, ia bekerja dengan tekun di bengkel kecil miliknya, membuat perabotan yang indah dan berkualitas. Namun, ia jarang berbicara dengan orang lain, lebih suka tenggelam dalam pekerjaannya. Tetangga-tetangganya menganggapnya aneh, dan rumor tentang dirinya pun menyebar.
"Dia itu sombong, merasa paling bisa," kata Bu Siti, tetangga sebelahnya, pada suatu sore kepada teman-temannya.
"Ya, benar. Dia bahkan tidak mau menyapa kita," tambah Pak Budi, yang tinggal di seberang jalan.
Padahal, Arman bukanlah orang yang sombong. Ketidakpeduliannya terhadap pandangan orang lain sebenarnya adalah bentuk pelindung diri. Beberapa tahun yang lalu, ia kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan tragis. Sejak saat itu, ia merasa dunia menjadi tempat yang asing dan penuh kepalsuan. Arman memilih untuk menutup dirinya dari orang-orang di sekitarnya untuk menghindari rasa sakit yang lebih dalam.
Suatu hari, datanglah seorang gadis kecil bernama Rani ke bengkelnya. Rani adalah anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan dekat bengkel Arman. Ia sering melihat Arman bekerja dari kejauhan dan merasa penasaran.
"Kak Arman, apa yang sedang Kakak buat?" tanya Rani dengan mata berbinar.
Arman terkejut, karena sudah lama tidak ada yang berbicara padanya dengan cara sehangat itu. Ia tersenyum tipis dan menjawab, "Aku sedang membuat kursi, Rani. Mau melihat?"
Rani mengangguk antusias dan mendekat. Arman mengajarinya cara memahat kayu, dan Rani tampak sangat menikmati setiap momennya. Seiring berjalannya waktu, Rani sering datang ke bengkel Arman, membantu dan belajar banyak hal darinya. Kehadiran Rani perlahan mulai membuka hati Arman yang tertutup.
Tetangga-tetangga yang tadinya menganggap Arman sombong pun mulai melihat sisi lain dari dirinya. Mereka menyadari bahwa Arman adalah orang yang baik dan memiliki hati yang hangat. Ketidakpeduliannya terhadap pendapat orang lain ternyata adalah cara untuk melindungi dirinya dari luka masa lalu.
Suatu hari, saat Arman sedang berjalan di pasar, ia melihat Bu Siti dan Pak Budi. Dengan rasa ragu, ia menyapa mereka terlebih dahulu.