Layar EKG menampilkan garis datar, monoton. Denyut nadi tak lagi terlihat. Keheningan mencekam ruang ICU, hanya diselingi bunyi detak jarum jam dinding yang seolah berlomba dengan helaan napas para pengantar raga tak bernyawa itu.
Di antara mereka, Runa menggenggam tangan yang dingin kaku, tak lagi bergerak. Wajah kakeknya yang keriput dan dihiasi bintik-bintik usia itu tak lagi memancarkan semangat hidup yang dulu begitu familiar. Kakek, lelaki tangguh yang mengajarkan Runa tentang arti perjuangan dan keteguhan hati, kini telah tiada.
Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya tumpah. Isak tangis Runa memecah keheningan, berpadu dengan rintihan pilu para pelayat lainnya. Namun, di sudut hatinya, denyut nadi terasa tak hanya berasal dari mesin yang kini hening. Runa merasakan denyut kakeknya, tertinggal dalam setiap kenangan yang terekam jelas di benaknya.
Kenangan tentang tangan kapalan yang besar dan hangat, mengajari Runa mengayuh sepeda. Kenangan tentang suara serak yang selalu menyemangati Runa saat terjatuh dan lelah. Kenangan tentang senyum tulus di bawah pohon beringin tempat mereka bercerita.
Denyut nadi kakeknya tak hanya tersimpan dalam detak jantungnya, tapi juga dalam setiap nilai hidup yang ditanamkan. Keuletan, kejujuran, dan kerja keras menjadi warisan tak ternilai yang kini menjadi denyut nadi hidup Runa.
Di tengah kesedihan, Runa menghapus air matanya. Ia bangkit, berdiri tegak di hadapan kakeknya yang terbujur kaku. Dengan suara bergetar, namun mantap, Runa berjanji, "Kakek, denyut nadimu akan terus mengalir dalam diriku. Aku akan hidup dengan teguh, mewujudkan mimpi-mimpi kita berdua."
Layar EKG tetap datar, tak ada denyut nadi yang terlihat. Namun, di sana, di ruangan hening itu, denyut nadi lain terasa bergema. Denyut nadi cinta, kenangan, dan warisan yang akan terus hidup abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H