Bau kopi menyeruak lembut, menggelitik hidung Rania yang masih terkubur dalam bantal. Jam weker di nakas berbunyi nyaring, memaksanya untuk membuka mata. Rabu. Hari ini Rabu. Rania mengernyit, ada sesuatu yang berbeda tentang hari Rabu ini. Tapi apa?
Dia bangkit, berjalan menuju jendela kamarnya. Langit mendung, seolah menahan tangis. Angin mengusap lembut dedaunan, berbisik rahasia yang tak tertangkap telinga. Ada sepi yang tak biasa menyelimuti pagi ini.
Hari Rabu biasanya hari yang ramai. Hari pameran lukisan di kafe tempat Rania bekerja paruh waktu. Hari di mana kafe dipenuhi sorot mata penuh kagum, diskusi hangat para pencinta seni, dan celoteh pengunjung yang memesan cappuccino sambil mengagumi karya seniman muda.
Tapi hari Rabu kali ini berbeda. Kafe tutup. Pameran dibatalkan. Sebuah berita duka beredar pagi itu. Pak Ardi, pemilik kafe sekaligus seniman yang karyanya banyak dipamerkan, meninggal dunia.
Rania tak habis pikir. Pak Ardi yang selalu ceria, yang senyumnya hangat seperti secangkir kopi susu, telah tiada. Rabu tiba-tiba kehilangan warnanya. Kanvas lukis di dinding kafe tak lagi memancarkan semangat, diganti papan pengumuman dengan pita hitam melingkarinya.
Hari itu berlalu lambat. Rania membantu membereskan kafe, menyimpan lukisan-lukisan terakhir Pak Ardi. Di antara kanvas-kanvas itu, dia menemukan sebuah sketsa belum selesai. Lukisan seorang wanita muda, tersenyum ceria sambil memegang secangkir kopi. Di sudut bawah, tertulis "Untuk Rania, dengan harapan kelak kau tak hanya menikmati, tapi juga menciptakan keindahan."
Rania tertegun. Air mata mengalir membasahi pipinya. Rabu ini diwarnai duka, tapi juga harapan. Harapan yang dititipkan Pak Ardi melalui sketsa tak selesai itu. Harapan agar Rania, sang barista pencinta kopi, tak hanya menikmati keindahan seni, tapi juga ikut menciptakannya.
Malam harinya, Rania duduk di meja kerjanya. Di hadapannya, kanvas putih terbentang luas. Dia mengambil kuas, mencelupkannya ke cat warna biru langit, warna kesukaan Pak Ardi.
Dengan tangan bergetar, Rania mulai melukis. Dia melukiskan kafe kecil yang dirindukannya, dihujani cahaya matahari pagi. Dia melukis secangkir kopi hangat, mengepulkan aroma kebaikan. Dan di sampingnya, dia melukis seorang wanita muda, sedang tersenyum ceria.
Hari Rabu mungkin tak lagi sama. Tapi untuk Rania, setiap Rabu akan menjadi pengingat akan Pak Ardi, akan harapan yang dititipkan, dan akan keberaniannya untuk mulai menciptakan keindahan sendiri. Sebuah Rabu yang diwarnai duka, namun juga dengan semangat baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H