Mohon tunggu...
Rafid DhiyaulhaqRamadhan
Rafid DhiyaulhaqRamadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa semester 1 jurusan Digital Content Broadcasting.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Jejak Warisan Hijau: Eksplorasi Pertanian Masyarakat Sunda di Museum Sri Baduga

14 November 2023   08:40 Diperbarui: 6 Mei 2024   12:56 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Museum Sri Baduga

Manusia dalam mempertahankan hidup harus memenuhi kebutuhan primernya yaitu pangan atau makanan. Untuk mendapatkan hal tersebut, di masa lampau manusia melakukan kegiatan berburu dan meramu. Barulah ketika sudah mengenal hidup menetap, manusia mulai bercocok tanam dengan teknologi yang sederhana.

Saya mengunjungi Museum Sri Baduga yang terletak di Jalan BKR Nomor 185, Pelindung Hewan, Astanaanyar, Kota Bandung. Jika anda naik ke lantai 2, anda dapat melihat koleksi berupa alat-alat mata pencaharian yang digunakan oleh masyarakat sunda tradisional untuk berladang dan bersawah.

Terdapat 2 display yang menunjukan alat-alat bertani dan berladang. Di sebelah selatan terdapat display kaca yang berisikan alat kecil seperti aseuk, kolotok, cangkul, kored, etem dan cangkarang. Di utara, berisikan alat yang lebih besar seperti gintiran, lisung, susurung, garu, caplok, lalandakan dan nyiru. Pemandu menjelaskan bahwa alat-alat yang menjadi koleksi di Museum Sri Baduga adalah yang dahulu masyarakat sunda gunakan di masa kerajaan. Walaupun sebenarnya di beberapa daerah di Jawa Barat masih menggunakan alat-alat tradisional tersebut hingga saat ini.

Sumber: Museum Sri Baduga
Sumber: Museum Sri Baduga

Masih di area lantai 2, anda dapat melihat display yang menunjukan ilustrasi dari Upacara Mapag Sri. Upacara Mapag Sri adalah upacara sakral musiman yang berkaitan dengan kegiatan bertani. Tujuannya sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan melalui simbol Nyi Pohaci Sanghyang Sri atau yang biasa dikenal sebagai Dewi Padi, dengan mengarak mengelilingi kampung dan diiringi berbagai atraksi kesenian karena dianggap telah memberi sumber kekuatan hidup kepada manusia.

Sebelum melaksanakan upacara,  kepala desa melakukan diskusi/rempungan dengan tokoh masyarakat atau para sesepuh desa terlebih dahulu. Tujuannya untuk menentukan tanggal dan dana yang diperlukan untuk upacara tersebut. Usai musyawarah, aparat desa meninjau sawah. Jika padi telah menguning, dana akan segera dikumpulkan. Besar dana yang dikumpulkan tergantung pada kemampuan masyarakat.

Usai upacara Mapag Sri dilaksanakan, masyarakat biasanya melanjutkan acara dengan menggelar pertunjukan Wayang Kulit Purwa dengan lakon Sulanjana tentang asal-usul padi. Setelah pertujukan berakhir, pertunjukan dilanjutkan dengan selametan dan perebutan air dari tujuh mata air yang dipercaya masyarakat dapat menyembuhkan penyakit dan mengusir bala.

Hingga kini upacara Mapag Sri masih dilaksanakan di lingkungan kampung adat di daerah Sumedang. Walaupun demikian upacara ini tidak dilaksanakan setiap tahun karena hasil panen yang diperoleh masyarakat tidak selalu baik kualitasnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun