Mohon tunggu...
Rafidah Evawani
Rafidah Evawani Mohon Tunggu... -

Rafidah Evawani Nganjuk, 19 Juni 1996 PWK (Perencanaan Wilayah Dan Kota) ITS 2014

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bonus Demografi, Berkah atau Musibah?

29 Desember 2014   10:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:16 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia diprediksi akan mendapat bonus di tahun 2020-2030. Bonus tersebut adalah Bonus Demografi, dimana penduduk dengan umur produktif sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Namun setelah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bekerja sama dengan BKKBN, Asosiasi Profesor Indonesia, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, Koalisi Kependudukan dan beberapa lembaga lainnya, menyelenggarakan seminar internasional pada bulan September 2013 untuk menyikapi Bonus Demografi yang konon menurut perhitungan awal, terjadi pada tahun 2020-2030. Namun pada seminar tersebut dibahas bahwa, perhitungan ini akan meleset menjadi tahun 2025-2035 atau kalau keadaan dibiarkan tidak terkontrol, kemunduran datangnya bonus demografi tersebut bisa lebih lama.

Bonus Demografi dengan Windows of Opportunity adalah suatu keadaan di mana penduduk potensial mempunyai tanggungan paling kecil. Artinya, dengan asumsi sederhana, dalam seri yang panjang, jumlah penduduk usia antara 15-60 tahun mempunyai tanggungan proporsi jumlah penduduk di bawah usia 15 tahun dan penduduk di atas usia 60 tahun paling kecil. Ini berarti, penduduk usia 15-60 tahun produktif dan tanggungannya penduduk di bawah usia 15 atau di atas usia 60 tahun dianggap tidak produktif.

Asumsi itu tidak selalu benar untuk negara berkembang seperti Indonesia. Definisi itu adalah untuk keperluan perhitungan demografi, yang apabila tidak dicermati bisa menyesatkan. Oleh karena itu, sebagai penanggung jawab pembangunan, pemerintah tidak perlu menunggu sampai 2020 atau 2030 untuk menjadikan penduduk sebagai sumber daya pembangunan. UU Nomor 52 Tahun 2009, sebagai penyegar UU No 10/1992, memberi pesan yang sangat jelas bahwa sejak program KB berhasil tahun 1990, tingkat kelahiran menurun setengah dari keadaan di tahun 1970, pertumbuhan penduduk nyata-nyata dapat dikendalikan, pemerintah telah melihat kesempatan emas menjadikan penduduk sebagai kekuatan pembangunan. Sayang, sikap tersebut tidak dilanjutkan.

Bonus demografi ini tentu akan membawa dampak sosial – ekonomi. Salah satunya adalah menyebabkan angka ketergantungan penduduk, yaitu tingkat penduduk produktif yang menanggung penduduk nonproduktif (usia tua dan anak-anak) akan sangat rendah, diperkirakan mencapai 44 per 100 penduduk produktif.

Hal ini sejalan dengan laporan PBB, yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan negara Asia lainnya, angka ketergantungan penduduk Indonesia akan terus turun yang diperkirakan sampai 2020.

Berdasarkan apa yang disampaikan oleh salah satu anggota DPR Komisi IX, dalam Seminar masalah kependudukan di Indonesia di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bahwa jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen, sedangkan sisanya, 30 persen, adalah penduduk yang tidak produktif (di bawah 15 tahun dan diatas 65 tahun ). Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekitar 180 juta, sementara nonproduktif hanya 60 juta. Tentu saja ini merupakan suatu berkah. Melimpahnya jumlah penduduk usia kerja akan menguntungkan dari sisi pembangunan sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Impasnya adalah meningkatkannya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun berkah ini bisa berbalik menjadi musibah jika bonus ini tidak dipersiapkan kedatangannya.

Masalah yang paling nyata adalah ketersedian lapangan pekerjaan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah negara kita mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk menampung 70% penduduk usia kerja di tahun 2020-2030?. Lantas, jika lapangan pekerjaan tersedia, mampukah sumber daya manusia yang melimpah di Indonesia ini bersaing di dunia kerja dan pasar internasional?

Melihat dari fakta yang ada sekarang, indeks pembangunan manusia Indonesia masih rendah. Dari 182 negara di dunia, Indonesia berada di urutan 111. Sementara dikawasan ASEAN, indeks pembangunan manusia Indonesia berada di urutan enam dari 10 negara ASEAN. Posisi ini masih di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapura. Tingkat indeks pembangunan manusia Indonesia ini terbukti dari tidak kompetitifnya pekerja Indonesia di dunia kerja baik di dalam ataupun luar negeri. Paling banter, pekerja Indonesia di luar negeri adalah menjadi pembantu. Ujung-ujungnya disiksa dan direndahkan. Untuk tingkat dalam negeri sekali pun, pekerja indonesia masih kalah dengan pekerja asing. Hal ini ditandai dari banyaknya peluang kerja dan posisi strategis yang malah ditempati tenaga kerja asing.

Permasalahan pembangunan sumber daya manusia inilah yang harusnya bisa diselesaikan dari sekarang, jauh sebelum bonus demografi datang. Jangan sampai hal yang menjadi berkah justru membawa musibah dan membebani negara karena masalah yang mendasar yakni kualitas manusia atau SDM (Sumber Daya Manusia).

Kenyataannya pembangunan kependudukan seoalah terlupakan dan tidak dijadikan faktor yang mendasar. Padahal pengembangan sumber daya manusia yang merupakan investasi jangka panjang inilah yang menjadi tombak kemajuan suatu bangsa.

Dalam hal ini pemerintah harus mampu menjadi penanggung jawab pengembangan dengan cara memperbaiki mutu manusia, mulai dari pendidikan, kesehatan, kemampuan komunikasi, serta penguasaan teknologi. Solusi lainnya bisa dengan memberikan keterampilan kepada tenaga kerja produktif sehingga pekerja tidak hanya bergantung pada ketersediaan lapangan pekerjaan tapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan itu sendiri. Selain itu pemerintah juga harus mampu menjaga ketersediaan lapangan pekerjaan, menjaga aset-aset Negara agar tidak banyak dikuasai pihak asing yang pastinya akan merugikan dari sisi peluang kerja apalagi di tahun 2015 nanti di ajang AEC (ASEAN Economic Community), para pekerja atau SDM Indonesia harus benar – benar bisa bersaing dengan tenaga kerja asing jika tidak, bisa saja lapangan pekerjaan di Indonesia dikuasai oleh tenaga kerja asing dan bisa jadi di tingkat pengangguran di Indonesia akan meningkat.

Bukan hanya pemerintah saja, melainkan masyarakat juga harus menjadi pendukung utama pembangunan mutu manusia dengan cara menyadari pentingnya arti pendidikan, kesehatan dan aspek-aspek yang dapat mengembangkan kualitas manusia itu sendiri.

Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bonus demografi dapat dilihat atau dinilai dari dua sisi. Satu sisi adalah berkah jika berhasil mengambilnya dari asumsi bahwa usia beban tanggungan semakin sedikit. Satu sisi yang lain adalah musibah seandainya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) tidak dipersiapkan.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun