Mohon tunggu...
rafiaryasatya
rafiaryasatya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Farmasi UNS Angkatan 2023

Seorang mahasiswa farmasi yang tertarik dengan isu-isu terkini

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sertifikasi Juru Dakwah: Solusi atau Masalah Baru?

7 Desember 2024   19:51 Diperbarui: 7 Desember 2024   20:23 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sertifikasi juru dakwah di Indonesia telah menjadi topik yang ramai diperbincangkan, terutama setelah insiden yang melibatkan Gus Miftah, seorang pendakwah terkenal. Kasus ini mencuat ketika Gus Miftah mengeluarkan pernyataan yang dianggap menghina seorang penjual es teh saat berdakwah. Anggota DPR, Maman Imanul Haq, menanggapi insiden ini dengan menyerukan Kementerian Agama (Kemenag) untuk melakukan sertifikasi terhadap para pendakwah. Maman Imanulhaq menekankan bahwa seorang pendakwah seharusnya menguasai sumber-sumber nilai keagamaan seperti Al-Qur'an dan hadis, serta tidak menggunakan bahasa yang kasar atau candaan yang menyinggung pihak lain. Hal ini penting untuk menjaga kehormatan dan kesucian ajaran agama dalam setiap ceramah yang disampaikan. Selain itu, Maman juga menyatakan bahwa sertifikasi ini bukan hanya sekedar formalitas, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan kompetensi pendakwah dalam menyampaikan pesan-pesan agama.. Kasus Gus Miftah tersebut dinilai menjadi bukti diperlukannya pengawasan yang lebih ketat kepada para pendakwah agar tidak menimbulkan kontroversi yang merugikan. Presiden Indonesia, Prabowo Subianto juga telah menanggapi tersebut dengan mengatakan bahwa pemerintah akan melihat terlebih dahulu soal usulan sertifikasi juru dakwah. Beliau juga menyatakan bahwa pemerintah akan meminta pendapat dari pihak-pihak terkait, mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga ormas-ormas keagamaan.

Sebenarnya sertifikasi juru dakwah bukanlah sebuah isu yang baru. Pada tahun 2019, Kementrian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah berencana untuk mengadakan program sertifikasi untuk para pendakwah di Indonesia. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dakwah dan mencegah penyebaran paham radikal. Namun, seperti halnya kebijakan publik lainnya, program sertifikasi juru dakwah ini tidak lepas dari berbagai tanggapan yang beragam dari masyarakat. Di satu sisi, banyak pihak yang menyambut baik inisiatif tersebut dengan argumen bahwa sertifikasi dapat membantu masyarakat untuk lebih selektif dalam memilih sumber rujukan keagamaan. Selain itu, sertifikasi juga diharapkan mampu meningkatkan kredibilitas para pendakwah dan mencegah penyebaran informasi yang keliru.

Di sisi lain, tidak sedikit pula yang menyuarakan kritik terhadap program sertifikasi tersebut. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi terjadinya pembatasan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam berdakwah. Ada kekhawatiran bahwa sertifikasi dapat menjadi alat untuk membungkam suara-suara kritis dan menyensor pandangan-pandangan yang berbeda. Selain itu, beberapa pihak juga meragukan efektivitas sertifikasi dalam mencegah penyebaran paham radikal. Radikalisme adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sosial, ekonomi, dan politik. Sedangkan sertifikasi hanya berfokus pada aspek individu, yaitu kemampuan seorang pendakwah. Padahal, akar masalah radikalisme seringkali terletak pada kondisi sosial yang lebih luas dan kompleks.

Menurut saya, sertifikasi juru dakwah malah menimbulkan pertanyaan baru tentang siapa yang berwenang menentukan kriteria sertifikasi dan bagaimana prosesnya akan dilaksanakan secara adil dan transparan. Proses sertifikasi juga dapat menjadi birokrasi yang panjang dan rumit sehingga menghambat aktivitas dakwah. Selain itu, ada kemungkinan bahwa sertifikasi juru dakwah justru digunakan sebagai alat politik untuk mengontrol pihak tertentu. Dalam konteks pluralisme agama di Indonesia, penting untuk menemukan keseimbangan antara kontrol kualitas dakwah dengan hak kebebasan beragama agar tidak terjadi pengekangan terhadap suara-suara yang berbeda. Jangan sampai sertifikasi juru dakwah yang diharapkan menjadi solusi permasalahan malah menjadi masalah yang baru.

Oleh karena itu, sertifikasi juru dakwah perlu dikaji secara mendalam. Di satu sisi, masyarakat membutuhkan kebijakan khusus untuk menjaga kualitas dakwah dan melindungi masyarakat dari paham-paham radikal. Di sisi lain, semua pihak juga harus menghormati kebebasan beragama dan menghindari intervensi negara yang berlebihan. Pada akhirnya, isu sertifikasi juru dakwah merupakan sebuah isu yang kompleks dan multidimensi. Tidak ada jawaban yang benar-benar hitam putih. Kontroversi mengenai sertifikasi juru dakwah mencerminkan tantangan besar dalam mengelola keberagaman pendapat di masyarakat. Diperlukan dialog terbuka antara pemerintah, ormas keagamaan, dan masyarakat untuk mencapai kesepakatan bersama. Hal ini akan membantu memastikan bahwa dakwah tetap menjadi sarana penyebaran nilai-nilai positif tanpa menimbulkan konflik atau ketegangan antarumat beragama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun