Kritik Sastra Novel Saman dalam kajian Sosiologi dan Hegemoni serta Realitas Masyarakat Indonesia
Jatuhnya rezim orde baru tahun 1998 tidak hanya membawa kebebasan dalam hal untuk bersuara, berekspresi, serta pendapat, tetapi turut dalam perkembangan sastra Indonesia. Kemajuan ini ditandai dengan banyak munculnya pengarang serta sastrawan baru yang kritis dan logis dalam mengaspirasikan karya – karya sastra yang bersifat sosial dengan menyuarakan kondisi – kondisi sosial yang selama ini menjadi hal rumpang untuk diperbincangkan dan untuk diangkat sebagai karya sastra. Banyaknya karya sastra pada zaman orde baru yang dilarang, bahkan untuk membacanya seseorang sudah menyalahi aturan.
Pada novel Saman ini Ayu Utami menggambarkan peristiwa kelam kekuasaan Orde Baru. Konflik yang terdapat dalam novel Saman merupakan pertentangan antara penduduk Transmigran sebagai buruh perkebunan karet yang tertekan oleh kondisi ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial dan peningkatkan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual meraka.
Novel Saman adalah refleksi kehidupan masyarakat saat novel itu dilahirkan. Novel Saman ialah mimetik dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berada kekuasaan rezim Orde Baru yang begitu kejam, terjadi pada tahun 1990-an. Novel Saman menggambarkan peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan. Kejadian tersebut membawa persoalan yang serius bagi masyarakat, yakni akan diubahnya perkebunan karet menjadi perkebunan kelapa sawit. Tetapi masyarakat tidak setuju dengan perubahan yang usulkan ini. Hal tersebut membuat penguasa berbuat tindakan yang tidak manusiawi yaitu dengan memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya untuk perkebunan kelapa sawit, mereka menggunakan kekerasan untuk meneror, memperkosa, menindas, dan juga membunuh penduduk. Masa itu pula terjadi kericuhan yang disebabkan unjuk rasa buruh yang memunculkan kerasisan.
Lahirnya novel Saman di tengah jatuhnya rezim Orde Baru kepresidenan Soeharto pada tahun 1998. Novel Saman sempat menghebohkan dunia sastra Indonesia karena dianggap kontroversi, menembus pelbagai ketabuan di Indonesia baik mengenai perspektif politik, intoleransi, seksualitas perempuan, dan agama.
Novel Saman menceritakan perjuangan pemuda bernama Saman nama aslinya adalah Wisanggeni, Saman berprofesi sebagai pastor yang ramah, selagi Saman berkarir sebagai Pastor muda, ia harus menyaksikan penderitaan penduduk desa Sei Kumbang yang tertindas oleh negara melalui aparat militer. Saman kemudian melepas jubah pastornya, dan menjadi aktivis, mendapat stigma buron dari aparat militer. Sebagai aktivis, Saman berhubungan dengan beberapa perempuan yaitu Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin. Mereka masih muda, berpendidikan dan berkarir. Sebagai seorang sahabat, mereka saling bercerita mengenai pengalaman – pengalaman mereka dalam hal libido perempuan.
Berdasarkan konflik yang dialami oleh tokoh Wisanggeni/saman terdapat beberapa kutipan sebagai fakta yang dapat membantu mencari permasalahan hegemoni yang berada pada novel Saman .
Saman/Wisanggeni merupakan sosok yang selalu gelisah melihat sesuatu yang dianggapnya tidak wajar. Jiwa sosialnya tergerak dan ikut membantu jika dirasa itu sangat mengusik relung hatinya. Untuk pertama kalinya ia melihat kondisi penduduk dusun Sei Kumbang, ia merasakan betapa keterbelakangan juga kemiskinan sehingga untuk membeli beras saja tidak mampu. Kondisi tersebut sangat mengganggu jiwannya, Saman ikut membantu.
Peran Saman dalam membantu warga sudah terlampau dalam, hingga suatu hari setelah kejadian pembakaran oleh penduduk Sei Kumbang. Saman lalu ditangkap, dan dijebloskan kedalam penjara. Didalam penjara Saman mengalami siksaan dan tekanan yang luar biasa dari aparat agar mau mengaku apa yang dituduhkan oleh aparat telah menghasut penduduk. Tuduhan politis dan Sara bahwa Saman seorang komunis yang berkedok rohaniawan dikayangkan untuk Saman. Mau tidak mau karena siksaan terlampau berat akhirnya Saman mengarang bahwa ia mengakui apa yang telah aparat tuduhkan.
“Tapi bagaimanapun yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia di giring ke ruang interogasi, didudukan atau dibiarkan berdiri, sementara ia menduga – duga cara apa yang digunakan orang – orang kali ini, sebab matanya selalu ditutup. Kadang mereka menyundut dengan bara rokok, menjepit jari – jarinya, mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau Cuma menggunakan kepalan dan tendangan.” (Saman, halaman 106).
Konflik yang terkandung dalam novel Saman adalah pertentangan antara penduduk transmigran Sei Kumbang sebagai buruh perkebunan karet yang tertekan oleh kondisi ekonomi akibat hutang serta monopoli perdagangan karet. Sehingga untuk bertahan hidup mereka menjual hasil kebun kepada tengkulak. Namun disini konflik dimulai ketika perusahaan berganti. Penduduk dipaksa untuk menanam kelapa sawit di bawah ancaman agar mau menuruti kepentingan politisi Gubernur sebagai kepala daerah yang seharusnya membela hak – hak para buruh kebun karet, tetapi mereka malah dikorbankan oleh Gubernur demi kepentingan penanam kelapa sawit dan segelintir orang (kaum Borjuis). Teror dan intimidasi membuat para penduduk melawan kesewenangan dari perusahaan. Tentu mereka kalah sebab petugas dan aparat siap menekan mereka.
Konflik pada novel Saman merujuk pada konflik eksternal lebih khususnya pada konflik sosial penduduk Sei Kumbang, yang disebabkan oleh adanya kontak sosial atau masalah – masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia. Konflik ideologis antara lapisan – lapisan sosial bukannya tidak ada. Tetapi lapisan elite yang biasa disebut lapisan priyayi, berpendidikan, dan kebanyakan berasal dari kota, pada umumnya memandang lapisan bawah atau orang kecil sebagai lapisan orang yang kurang berpendidikan, bodoh, dan tradisional, tidak bergairah dalam mengikuti perkembangan.