Indonesia merupakan sebuah negara tropis dengan kekayaan alam yang tak ternilai jumlahnya. Setiap wilayah di Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang berbeda-beda. Hal tersebut menjadikan tiap wilayah di Indonesia memiliki ciri khasnya masing-masing. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki tiap wilayah Indonesia diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakatnya menjadi sesuatu yang mencerminkan kebudayaan mereka. Cerminan budaya tersebut dapat kita temukan dalam sebuah hidangan berupa minuman tradisional.
Nilai dari sebuah minuman tradisional bukan hanya sekedar berfungsi sebagai pelepas dahaga saja, melainkan lebih dari itu. Kita dapat menemukan keunikan dari suatu daerah dari aroma dan cita rasa yang dihasilkan minuman tradisional dari suatu daerah tertentu. Sebagai contoh, kita dapat merasakannya dalam segelas tuak khas masyarakat Tapanuli, Sumatra Utara.
Sejarah Tradisi Minum Tuak Masyarakat Sumatra Utara
Sebenarnya tidak ada catatan sejarah yang menulis asal-usul dari minuman tuak ini. Namun, dapat dipastikan bahwa tuak sudah dikenal oleh masyarakat Sumatra Utara sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dari sebuah buku yang ditulis oleh seorang penjelajah asal Venesia yang berasal dari abad ke-13 masehi yang bertajuk "The Travels of Marco Polo". Dalam bukunya tersebut, Marco Polo melakukan perjalanan ke pulau Sumatra dan ia melihat masyarakat lokal di sana gemar mengonsumsi sebuah minuman yang berasal dari cairan pohon aren yang disebut "tuak". Marco Polo juga menulis bahwa masyarakat lokal juga memanfaatkan minuman tersebut untuk upacara persembahan arwah nenek moyang mereka.
Apakah tuak hanyalah sebuah minuman memabukan yang membawa keburukan belaka?
Kandungan alkohol yang terdapat dalam segelas tuak dapat mengundang presepsi negatif masyarakat luas tentang minuman tradisional ini. Tuak memang dapat membawa dampak buruk dan mengancam kesehatan apabila dikonsumsi secara berlebihan. Namun apabila dikonsumsi secara tepat, tuak dapat memberikan manfaat yang baik bagi tubuh. Sesungguhnya dalam setiap tegukan tuak, kita tidak hanya merasakan sensasi manis dengan sedikit pahit yang dibalut dengan rasa hangat di tenggorokan belaka, tetapi kita juga dapat merasakan keunikan sensasi yang membedakan tuak dengan minuman tradisional lainnya. Nilai-nilai kebudayaan masyarakat Batak dan warisan leluhur juga dapat kita rasakan dari setiap tetes air tuak yang masuk ke tenggorokan.
Tuak dapat kita jumpai di berbagai wilayah Indonesia. Akan tetapi, apabila kita membahas tuak, kebanyakan dari kita kita akan tertuju kepada masyarakat Batak di Sumatra Utara. Hal tersebut dapat terjadi karena hubungan antara tuak dengan masyarakat Batak sudah sangat lekat dan tak terpisahkan bagaikan hubungan kafein dengan kopi.
Bagaimanakah proses pembuatan tuak?
Setiap daerah di Indonesia memiliki caranya masing-masing dalam membuat tuak. Cita rasa dan aroma tuak itu sendiri berbeda-beda di tiap daerah. Tiap daerah memiliki tradisi yang unik dalam memproduksi tuak, salah satunya adalah proses pembuatan tuak khas Tapanuli, Sumatra Utara. Dalam tradisi masyarakat Tapanuli, tuak merupakan produk olahan yang berasal dari pohon aren. Masyarakat Tapanuli menyebut pohon aren dengan sebutan bagot. Di dalam tangkai tandan bunga dari bagot atau pohon aren terdapat cairan keruh yang rasanya manis, cairan ini dinamakan nira. Nira inilah yang menjadi bahan utama dalam pembuatan tuak.