Mohon tunggu...
Muhammad RafiAshidiq
Muhammad RafiAshidiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, prodi Jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Adab dalam Retorika dan Ilmu Dakwah

29 Juni 2024   18:28 Diperbarui: 29 Juni 2024   18:36 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Syamsul Yakin dan Muhammad Rafi Ashidiq Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/dokpri

Sebagai sebuah disiplin ilmu, dakwah dan retorika harus netral terhadap nilai-nilai eksternal. Artinya, pengembangan ilmu dakwah dan retorika harus murni berdasarkan ilmu pengetahuan, tanpa dipengaruhi oleh pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan, seperti norma adab.

Namun demikian, dalam praktiknya, ilmu dakwah dan retorika tetap harus mempertimbangkan nilai-nilai adab. Meskipun kedua ilmu ini bersifat netral, tetap ada kebutuhan untuk mengindahkan kebenaran dan dampak yang dihasilkan. Dengan kata lain, ilmu dakwah dan retorika harus terikat pada adab yang berakar pada ajaran agama dan budaya.

Oleh karena itu, adab dan ilmu dalam retorika dakwah harus disatukan. Prinsip ini tercermin dalam adagium "ilmu bukan untuk ilmu", melainkan ilmu untuk kebaikan dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, ilmu itu harus bermanfaat bagi kemanusiaan. Di sinilah pentingnya keberadaan adab.

Secara praktis, retorika dakwah bukan hanya tentang menyampaikan dakwah secara efektif, efisien, menarik, dan atraktif, tetapi juga tentang mengikuti aturan kesopanan, keramahan, dan budi pekerti yang luhur. Terlebih lagi, dakwah pada dasarnya bersifat subjektif, dogmatis, dan sarat nilai. Retorika juga awalnya merupakan bagian dari budaya dan berasal dari sistem nilai tertentu.

Ketika retorika berkembang dari budaya, menjadi seni bertutur, tumbuh menjadi pengetahuan, dan akhirnya diakui sebagai ilmu, pada puncaknya retorika perlu diikat oleh adab. Budaya, seni, pengetahuan, dan ilmu manusia harus dipadukan dengan adab.

Demikian juga dengan dakwah. Dimulai dari dogma atau ajaran agama, kemudian menjadi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang belum diuji secara ilmiah, lalu secara konsisten menjadi ilmu dakwah yang juga harus diiringi adab. Dalam berdakwah harus ada kesopanan, keramahan, dan budi pekerti seorang dai.

Memadukan adab dan ilmu dalam retorika dakwah mengharuskan dua hal. Pertama, menghilangkan komodifikasi dakwah. Komodifikasi dakwah adalah menjadikan dakwah sebagai komoditas atau barang dagangan. Selama ini, komodifikasi dakwah berlindung di bawah payung profesionalisme dan manajemen. Dai yang berilmu dan beradab menolak komodifikasi dakwah.

Dai dan mitra dakwah dilarang keras menjadikan dakwah sebagai bisnis. Namun, dai dan mitra dakwah boleh berdakwah tentang bisnis karena Nabi, para sahabat, dan ulama banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Dai harus menghidupkan dakwah, bukan menggantungkan hidup dari berdakwah.

Kedua, memadukan ilmu adab dan ilmu dalam retorika dakwah akan menjadikan dai profesional dalam arti yang sebenarnya. Profesional bukan berarti terkenal, memiliki manajer, dan harus dibayar, melainkan memiliki adab dan ilmu dalam berdakwah dan beretorika.

Profesional tidak berarti tidak memiliki pekerjaan selain dai. Dai boleh bekerja sebagai apapun tanpa meninggalkan aspek profesionalisme. Sebab, makna dai profesional dalam konteks ini adalah menghayati sepenuh hati apa yang dikatakan dan mengamalkannya berdasarkan adab dan ilmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun