Mohon tunggu...
Raffreds Northman
Raffreds Northman Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penulis Novel "Melawan Arus". Blogger. Pembicara di Beberapa Universitas. Aktivis Pendidikan. Nominator Shorty Awards 2013 & 2014 #BestAuthor #BestBlogger. Instagram : @raffreds.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Indonesia Sulit Berubah?

31 Juli 2015   12:55 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:54 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia itu besar, luas, padat. Berbagai suku, budaya, ras, agama, kepercayaan, ideologi, kelas sosial, berkumpul disini. Tapi sayang, harapan untuk menjadin negara maju masih jauh panggang dari apa. Sebagai masyarakat yang punya kontribusi bagi negara, tentu kita sangat mendambakan perubahan. Pertanyaan klasik yang selalu dilontarkan oleh banyak orang, "Kapan Indonesia bisa maju seperti Singapore?". Jika kita terus menerus mengeluh, pertanyaan itu tak akan terjawab sampai kapan pun. Mari kita coba analisis secara sederhana. Perubahan itu dimulai dari keluarga, kelurahan, kecamatan, kota madya, propinsi, hingga pusat pemerintahan.

Keluarga menjadi sangat penting untuk tonggak perubahan selanjutnya. Apabila masih banyak keluarga yang "acuh tak acuh" maka akan sulit bagi keluarga tersebut berkontribusi yang lebih baik di masyarakat lebih luas. Sebuah keluarga sangat kental dipengaruhi oleh budaya, baik itu budaya dari suku dan juga budaya dari agama yang dianutnya. Tidak semua dalam satu masyarakat memiliki budaya yang sama, meskipun (anggap saja) dalam satu kelurahan semua orang bersuku X dan beragama X. Pasti tidak sama budaya satu keluarga dengan keluarga lain. Budaya yang dianut sejak kecil sedikit banyak akan mempengaruhi pola pikirnya dalam bermasyarakat. Orang tua yang terbiasa memukul anaknya jika salah mengerjakan sesuatu, akan terus meneruskan kebiasaan ini ke generasi berikutnya. Sang anak pun (lambat laun) akan meniru kebiasaan orang tua dalam menyelesaikan masalah (dengan kekerasan fisik). Kebanyakan orang tua yang memukul anaknya saat kecil memiliki alasan (atau pembelaan) sebagai "bentuk kasih sayang terhadap anak" ***(mungkin ada kompasianer yang tahu tentang penelitian ini?)

Manusia yang terlahir dengan budaya temperamental akan mempengaruhi caranya dalam menyelesaikan masalah. Anak tersebut mudah sensitif jika menghadapi perbedaan dalam bermasyarakat. Anggap lingkungan sekolah menerapkan kompetisi yang sangat ketat dalam lingkungan belajar (akademis). Kompetisi akan menegaskan adanya si pintar dan si bodoh, si rajin dan si pemalas. Kenapa ada si pintar, si bodoh, si rajin, si pemalas? Karena Tuhan mencinptakan orang dengan dasar karakter yang berbeda-beda. Sehingga, perubahan karkater itu bisa dilakukan di rumah dan di sekolah. Anak-anak yang tergolong "kurang" dalam akademis (bisa kurang pintar, kurang cantik, kurang kaya) cenderung menjadi sensitif. Rasa iri dan dengki akan timbul perlahan-lahan. Kemudian, muncul arogansi pada si "lebih" dan melakukan bullying pada si "kurang". Inilah awal mula lingkaran bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Kalau saya mengatakan ini sebagai "pembunuhan karakter di sekolah" (Berdasarkan pengalaman di sekolah saya, tahun 1998-2003)

Pembunuhan karakter ini terjadi terus menerus dan berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan, kemudian menjadi budaya yang lumrah dalam masyarakat. Jadi tak perlu heran, ada acara lawakan anak-anak yang menghina anak-anak lain menjadi bahan tertawaan di pentas seni ala kelurahan. Anak yang besar dalam lingkungan seperti ini akan membawa kebiasaan "masa lalu"-nya dalam bermasyarakat yang akhirnya menciptakan adanya kelas sosial. Si kaya dan si miskin. Si pintar dan si bodoh. Di lingkungan akademis yang lebih tinggi (universitas), budaya ini jauh, jauh, lebih kental dari di sekolah. Budaya ospek. senior ke junior, bahkan dosen ke mahasiswa. Pasti kamu pernah mengalaminya. Ini semua sudah menjadi satu lingkaran yang sulit untuk diputus yang membuat Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia rusak. Dosen sebagai tenaga pengajar yang seharusnya objektif dalam menilai mahasiswa justru menjadi subjektif. (Apalagi jika si mahasiswa anak dosen di kampus tsb atau anak petinggi perusahaan). Dimanapun pasti pernah terjadi kasus seperti ini. Baik di universitas negeri maupun universitas swasta, tanpa pengecualian.

Selepas kuliah, budaya ini kembali dilanjutkan di dunia kerja. Yang tadinya (asumsi) hanya 50-70% terjadi di perguruan tinggi, kini lebih parah hingga 70-90% (bahkan 100%) di berbagai perusahaan. Budaya ini justru lebih kental di perusahaan BUMN maupun instansi pemerintahan PNS. Seorang wanita cantik akan sangat gampang masuk dunia kerja (meskipun kemampuan akademis dan perliakunya kurang). Percaya tidak percaya, hal tsb "sudah terlanjur" terjadi. Bahkan di perusahaan level multinasional sekalipun. Ada beberapa perusahaan besar yang memotong proses rekrutmen demi memasukkan "sekelompok" calon pegawai baru. Ada juga perusahaan yang mengambil pegawai 70-80% dari suku atau etnis tertentu. Ada lagi perusahaan yang top managementnya "hanya boleh" diisi dari lingkaran keluarga besar si pemilik. Budaya-budaya perusahaan seperti ini akan menimbulkan diskriminasi. Pegawai yang tadinya bekerja dengan nyaman lambat laun akan merasa tidak betah. Ingat, gaji bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan loyalitas karyawan. Masyarakat awam pun akan antipati terhadap perusahaan yang menerapkan budaya tadi. Akibatnya, orang awam akan menggeneralisir semua perusahaan berlaku tidak adil. Kembali lagi, ini ibarat lingkaran yang sulit diputus oleh siapa pun.

Dari mana semua ini berasal? Dari lingkungan keluarga.

Sudahkah anda peduli dengan keluarga?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun