"Belum ke Jogja rasanya kalau belum berkunjung ke Museum Ullen Sentalu. Ayo! Eksplor Jogja ke Museum Ullen Sentalu!" Iklan yang sangat menarik perhatianku muncul di laman Instagram smartphone-ku. Memang sudah lama aku tertarik untuk mengunjungi Museum Ullen Sentalu yang ada di daerah Kaliurang, namun belum pernah terwujud. Bersamaan dengan itu, ayahku mengajakku untuk touring dengan menaiki motor CBX 150 di hari sabtu jam 10 pagi. Momen yang kebetulan sangat bertepatan ini aku manfaatkan untuk mengajak ayahku touring ke daerah atas, Kaliurang, dan sekalian mengunjungi Museum Ullen Sentalu yang sudah lama aku lirik. Dengan penuh rasa tak sabar dan antusias, aku menunggu hari itu tiba.Â
Tibalah hari yang sudah aku nantikan itu, hari Sabtu. Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi. Segera kuambil handuk di gantungan baju kamarku. Bergegas ku mandi dan bersiap untuk touring bersama ayahku. Setelah selesai bersiap-siap, aku dan ayahku pamit ke orang rumah untuk berjalan menuju Museum Ullen Sentalu Kaliurang. Perjalanan menuju Museum Ullen Sentalu kami tempuh sekitar satu jam. Perjalanan kami tempuh dengan menembus hangatnya matahari pagi dan diiringi dengan suasana jalan Kota Yogyakarta yang belum terlalu dipenuhi dengan kendaraan yang berlalu lalang memenuhi jalanan kota. Dalam proses menuju Museum Ullen Sentalu, kami memilih jalur via Jalan Magelang sebagai arah perjalanan kami. Tak terasa, perjalanan satu jam pun kami tempuh hingga akhirnya kami sampai di parkiran Museum Ullen Sentalu.
Ullen Sentalu, bagai harta karun di tengah hiruk pikuk dunia masa kini. Dipenuhi Rimbun pepohonan yang tinggi menutupi cahaya matahari memenuhi area komplek Museum Ullen Sentalu. Meskipun waktu menunjukkan pukul 11 siang, suasana sejuk nan asri dapat kurasakan bersama ayahku ketika kami sampai di tempat itu. Bagaikan melangkah di atmosfer yang tinggi, alunan angin yang merdu dan hembusan angin yang menyejukkan raga mengiringiku dan ayahku saat berjalan menuju pintu masuk museum. Pada pintu masuk, kami disambut dengan mini banner berisi informasi mengenai paket-paket yang disediakan dalam museum ini. Aku dan ayahku bersepakat untuk memilih paket "Adiluhung Mataram" seharga Rp50.000,00. "Kita uji coba dulu aja pake paket ini. Kalo emang bagus, besok kita ajak mama dan adik-adikmu ke sini," ucap ayahku ketika kami berdiskusi mengenai paket yang akan kami pilih.Â
Aku dan ayahku kemudian masuk menuju loket untuk membeli paket tur yang sudah kami sepakati. Setelah membeli tiket, kami berdua diberi arahan untuk menuju ke ruang tunggu museum yang berada di lantai 2. Di ruang tunggu, terlihat kursi-kursi berjajar rapi secara berbanjar menghadap ke pintu masuk ruang tunggu. Saat memasuki ruangan tersebut, terasa kental suasana otentik nan oriental, serta penuh dengan sejarah masa lampau layaknya memberikan panggilan suara yang lirih, seolah tempat ini ingin membagikan berbagai dongeng terpendam yang ada di dalamnya. Rasa tak sabar dan penasaran memenuhi ragaku untuk segera masuk mengikuti perjalanan tur ini dengan seksama. Kami berdua pun duduk menunggu kloter "Adiluhung Mataram" dipanggil.Â
Momen yang telah kutunggu-tunggu pun tiba. Tur dimulai dengan rombonganku berjalan menyusuri jalan aspal setapak dikelilingi pepohonan hutan. Udara dingin pegunungan menyejuki tubuhku. Layaknya portal waktu yang membawa pengunjung menuju masa lampau yang kaya akan sejarah dan budaya jawa, kami memasuki gua buatan bernama "Goa Sela Giri". Ruangan pertama kumasuki bersama dengan 9 orang lainnya di rombonganku. Ruangan ini dipenuhi oleh alat-alat musik gamelan warisan budaya kerajaan keraton yang hingga saat ini masih dialunkan gema musiknya. Alat-alat musik gamelan di ruangan ini juga ditemani oleh beberapa lukisan yang menggambarkan tarian-tarian khas Kerajaan Medang yang menjadi awal mula 4 kerajaan besar di Jawa.Â
Setelah menikmati sejarah di ruangan pertama, rombongan kami diarahkan untuk menyusuri lorong panjang yang dilengkapi dengan lukisan dan tulisan penjelasan mengenai awal mula terpecahnya kerajaan Islam di Jawa menjadi empat kerajaan kecil: Kasultanan Ngayogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, dan Kadipaten Mangkunegaran. Selama menelusuri lorong, pemandu kami menjelaskan dengan detail dan menarik mengenai masing-masing kerajaan yang telah terpecah belah karena campur tangan pihak asing, khususnya Belanda, serta menjelaskan mengenai masa-masa kejayaan yang dialami oleh masing-masing kerajaan. Terpapar juga sosok para pemimpin empat kerajaan yang membawa masing-masing kerajaannya kepada masa kejayaannya.
Perjalanan kami berlanjut menuju ruangan yang memamerkan sejarah busana keluarga kerajaan. Dahulu kala, keluarga kerajaan hanya berbusana mengenakan sehelai kain panjang bercorak batik. Busana ini biasa disebut dengan nama "kemben". Namun seiring dengan perkembangan zaman dan budaya eropa yang masuk ke wilayah kerajaan melalui Belanda, kemben mengalami transformasi budaya menjadi "kebaya" yang hingga saat ini masih dipakai oleh keluarga kerajaan, bahkan masyarakat luas. Busana kebaya memiliki sifat lebih sopan dan tertutup dibandingkan kemben. Terlebih lagi, ada beberapa busana khusus lainnya yang menggunakan kain batik khusus pula dalam penggunaanya. Hal ini merepresentasikan bahwasannya kehidupan yang berada pada lingkungan keraton sangatlah kental akan budaya yang mengandung nilai-nilai yang masih dijunjung tinggi oleh keluarga kerajaan bahkan masyarakat luas hingga saat ini.Â
Ruangan selanjutnya dipenuhi oleh batik-batik khas Yogyakarta dan Solo yang memiliki corak dan makna tersendiri. Masing-masing batik tidak hanya sekedar kain biasa untuk menutupi tubuh, akan tetapi juga menggambarkan filosofi-filosofi kehidupan melalui corak yang dimiliki pada masing-masing batik. Beranjak ke ruangan selanjutnya, yaitu ruangan khusus untuk mengabadikan sosok Gusti Nurul, salah seorang putri raja keturunan Kerajaan Mangkunegaran yang memiliki julukan "Putri Dambaan". Ruangan ini disahkan sendiri oleh Gusti Nurul diperuntukkan untuk mengenang kisah masa kecil beliau hingga wafat pada tahun 2015 silam, pada usia 94 tahun.Â
Tur kami ditutup dengan berfoto-foto pada taman yang berada di area tengah museum yang dikelilingi oleh rimbun pepohonan. Tepian taman dikelilingi oleh kolam yang tenang ditemani oleh patung-patung wanita yang seperti sedang berpose cantik berjejeran sepanjang kolam. Keindahan alam dan arsitektur megah terpampang nyata di area taman Museum Ullen Sentalu.Â
Waktu menunjukkan pukul 12.30 siang. Rasa lapar aku dan ayahku rasakan setelah berjalan-jalan mengikuti tur Museum Ullen Sentalu. Akhirnya, kami memutuskan untuk makan siang di Jadah Tempe Mbah Carik sebelum melanjutkan perjalanan kami pulang ke rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H