Pendidikan seharusnya menjadi ladang bagi tumbuhnya pohon-pohon pengetahuan, yang akarnya ditanam dalam kedalaman pemikiran dan cabangnya meluas ke cakrawala gagasan-gagasan baru. Namun, di sebagian besar ruang kelas hari ini, pendidikan tampaknya hanya sekadar formalitas yang tidak mampu menumbuhkan keingintahuan sejati. Bagi banyak mahasiswa, belajar lebih sering menjadi rutinitas yang dijalani tanpa nyawa, sementara bagi sebagian dosen, mengajar telah berubah menjadi tugas administratif yang tidak melibatkan gairah untuk menginspirasi.
Memotret materi dari slide presentasi tanpa memahaminya, menjawab pertanyaan diskusi hanya dengan jawaban yang ditemukan di Google, atau sekadar menyalin tugas teman adalah gambaran suram dari sebuah proses belajar yang kerap kali kehilangan makna. Fenomena ini bukanlah hal baru di kampus, bahkan telah menjadi budaya yang membudaya. Tetapi apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apa yang membuat mahasiswa begitu malas berpikir dan dosen begitu enggan mengubah cara mereka mengajar?
Mengapa Mahasiswa Hanya Menyalin?
Fenomena mahasiswa yang hanya datang ke kelas untuk mendengarkan presentasi teman yang dibacakan dari layar ponsel atau menyalin jawaban dari Google bukan hanya masalah kebiasaan buruk. Ia merupakan refleksi dari sebuah sistem pendidikan yang, meskipun melahirkan banyak individu terdidik, namun gagal untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan semangat belajar yang mendalam. Mahasiswa lebih sering terdorong untuk mengejar nilai daripada pemahaman yang sesungguhnya. Bagi mereka, yang penting adalah kelulusan tanpa mempertimbangkan esensi dari pembelajaran itu sendiri.
Salah satu penyebab utama hal ini adalah tekanan akademik yang begitu besar. Di tengah tuntutan untuk menjaga prestasi dan mempertahankan nilai, banyak mahasiswa yang akhirnya memilih jalan pintas. Menyalin tugas teman atau mencari jawaban instan dari internet menjadi solusi cepat dan aman yang menghindarkan mereka dari kegagalan. Padahal, pendidikan tidak seharusnya seperti itu. Pendidikan bukan sekadar alat untuk mendapatkan ijazah atau nilai, tetapi untuk mengasah kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kreatif. Namun, dalam kenyataannya, proses pembelajaran sering kali dilihat sebagai formalitas untuk mencapai tujuan akhir tersebut, tanpa memperhatikan bagaimana perjalanan intelektual selama proses belajar berlangsung.
Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions mengatakan bahwa perubahan dalam paradigma pemikiran sering kali dimulai dengan ketidakpuasan terhadap status quo. Mahasiswa yang hanya menyalin atau mencari jalan pintas tidak akan mampu merasakan perubahan dalam diri mereka---mereka tidak melakukan perlawanan terhadap cara-cara lama yang sudah mapan. Inilah yang menciptakan lingkaran setan: mahasiswa yang tidak merasa terdorong untuk berpikir lebih dalam, dan dosen yang kurang mampu merangsang proses berpikir kritis tersebut.
Peran Dosen yang Kurang Menginspirasi
Sementara itu, dosen, sebagai agen perubahan dan pemandu dalam dunia pendidikan, juga berperan besar dalam menciptakan iklim pembelajaran yang kurang menggairahkan. Banyak dosen, meskipun memiliki kompetensi yang baik dalam bidangnya, tidak cukup memberikan perhatian terhadap aspek-aspek pembelajaran yang mendorong kreativitas dan partisipasi aktif mahasiswa.
Namun, yang lebih memprihatinkan lagi adalah sikap dosen yang seolah membiarkan keadaan ini berlangsung begitu saja, bahkan cenderung menormalisasi fenomena tersebut sebagai hal yang wajar. Dalam banyak kasus, dosen tampaknya tidak merasa perlu untuk mengoreksi cara mahasiswa dalam belajar, terutama ketika mereka hanya menyalin tugas, membacakan materi tanpa pemahaman, atau sekadar menyalin jawaban dari internet. Ketika mahasiswa tidak menunjukkan usaha lebih untuk memahami materi atau ketika mereka melakukan presentasi yang jelas-jelas asal-asalan, dosen seharusnya memberikan umpan balik yang konstruktif atau bahkan mengajak mereka untuk mendalami lebih dalam. Namun, yang terjadi seringkali justru sebaliknya. Dosen cenderung diam, tidak mengoreksi, dan membiarkan mahasiswa tetap berada dalam zona nyaman mereka. Seolah-olah itu adalah hal yang tak perlu diperhatikan.
Fenomena ini menjadi masalah serius karena menunjukkan bahwa dosen, sebagai pemandu intelektual, gagal untuk menunjukkan standar akademik yang tinggi kepada mahasiswa. Menganggap bahwa mahasiswa yang menyalin atau mengikuti pembelajaran tanpa pemahaman adalah hal yang normal adalah kesalahan besar. Hal ini bukan hanya merugikan mahasiswa itu sendiri, tetapi juga merusak kualitas pendidikan secara keseluruhan. Ketika dosen tidak memberikan kritik atau koreksi terhadap presentasi yang tidak memadai, mereka justru ikut memperburuk situasi dan menormalisasi standar rendah dalam proses pembelajaran.