Mohon tunggu...
Aunurrafiq Abdullah
Aunurrafiq Abdullah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Menyukai Proses Hidup dan Selalu Berprasangka Baik Kepada Sang Empunya Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Meraup Untung dari Jembatan Runtuh

6 Desember 2011   15:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:45 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meraup untung ? Siapa sich yang tidak mau ? Bahkan keuntungan dapat kita peroleh dari sebuah musibah yang terjadi, entah secara kebetulan atau "disengaja".  Tulisan ringan berikut ini, mencoba "mengungkap" dari perspektif sederhana, pihak-pihak yang meraup untung dari musibah yang terjadi di kabupaten terkaya di Indonesia tersebut.

Peristiwa runtuhnya Jembatan Mahakam 2 atau lebih lazim disebut orang sebagai Jembatan Kutai Kertanegara pada 26 nopember silam tersebut,  menyisakan luka mendalam bagi negeri, selain merugikan negara karena jembatan tersebut dibuat dengan biaya sangat mahal (kabarnya jumlah nol-nya lebih dari hitungan jari), juga merenggut nyawa yang tidak sedikit (termasuk 1 keluarga penumpang mobil yang ringsek pada foto di atas). Berdasarkan informasi dari berbagai media, bahwa  sampai hari ini,  telah 21 orang yang ditemukan dalam keadaan tewas dan diperkirakan jumlahnya akan terus bertambah beberapa hari ke depan seiring makin banyaknya pihak yang melaporkan kehilangan anggota keluarganya. Belum lagi kerugian harta benda maupun psikologis yang dialami korban luka-luka yang saat ini masih dirawat di RS Umum Parikesit Tenggarong ataupun yang dirawat di RSUD A. Wahab Syahranie Samarinda. Kemarin, tepat 10 hari setelah setelah kejadian naas tersebut, saya berkesempatan mengunjungi lokasi runtuhnya jembatan tersebut, rasa tak percaya langsung menyergap, serasa mimpi rasanya, jembatan yang sangat berjasa memperpendek waktu tempuh dari Samarinda ke Tenggarong tersebut luluh lantak tak bersisa, mungkin perlu waktu setidaknya 5 - 7 tahun ke depan, jembatan pengganti akan berdiri kembali di atas sungai terbesar di Kaltim ini. Sebelum berangkat, saya sudah membayangkan akan menempuh perjalanan yang tidak semudah biasanya, yaitu melewati jalur lama, setelah sebelumnya harus melewati jembatan Mahakam 1 yang padat merayap, menyusuri loa janan yang padat penduduk, kemudian loa kulu, loa duri dan loa-loa lainnya (hehehe). Tak ada perubahan yang berarti setelah 10 tahun tak pernah melewati jalur lama tersebut, jalannya tetap sempit dengan beberapa jebakan betmen (baca: jalan yang berlubang) yang makin banyak saja rasanya. Namun ada yang berubah, seingat saya SPBB (Stasiun Pengisian Batu Bara) atau bahasa tambangnya compeyor hanya ada satu kala itu, namun kemarin jumlahnya telah melonjak tajam, setidaknya saya menghitung ada 8 SPBB baru yang membuka usaha di sepanjang jalur Samarinda Tenggarong tersebut yang siap melayani puluhan kapal tongkang pengangkut batu bara yang sudah mengantri (ckckck...mantap gan), tapi menjadi tanda tanya besar bagi saya, mengapa dengan menjamurnya SPBB tersebut, tidak berkorelasi positif  dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Kukar ???

Ada pemandangan menarik selain puing-puing reruntuhan jembatan tersebut, rupanya antusias masyarakat untuk berkunjung ke tempat ini, masih besar. Terbukti masih banyaknya dijumpai kerumunan masyarakat yang menonton sisa-sisa kemegahan jembatan tersebut. Momen seperti ini rupanya dengan cerdik dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mengeruk keuntungan. Beberapa pihak yang kemungkinan "diuntungkan" dengan peristiwa musibah ini, sebagai berikut : 1. Pedagang Kaki Lima Sebelum kejadian, sudah cukup banyak pedagang makanan dan minuman yang beroperasi di sekitar jembatan, karena Pemerintah Daerah Tenggarong memang mengalokasikan tempat untuk para pedagang kecil ini, walaupun kini tempat tersebut telah disulap menjadi posko-posko bantuan bencana, bukan berarti penghasilan pedagang menjadi hilang atau berkurang, bahkan menurut pengakuan beberapa pedagang, omset mereka malah meningkat 2 sampai 3 kali lipat dari sebelumnya, karena mereka tetap boleh berdagang di pinggir-pinggir sungai dengan gerobak dorong masing-masing. Hukum Ekonomi tentang Supply and Demand rupanya menjadi penyebab naiknya omset para pedagang tersebut. Banyaknya pengunjung atau lebih tepatnya disebut penonton yang ingin melihat langsung reruntuhan jembatan gantung terpanjang di Indonesia tersebut, berkorelasi langsung terhadap permintaan makanan dan minuman. 2. Pemilik kapal tambangan Banyak jalan menuju roma, begitu pula dengan jalan menuju tenggarong. walaupun ada jalur alternatif melalui jalur lama (melewati loa janan), rupanya masih banyak orang yang lebih memilih jalur baru, apa lagi kalau bukan alasan efisiensi waktu. Sekedar diketahui saja, waktu tempuh samarinda tenggarong melalui jalur baru bisa di hemat 2 kali lipat bahkan bisa lebih, dibanding melewati jalur lama, tergantung nyali pengemudi (hehehe). Kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa pemilik kapal, yang umum disebut kapal ces atau kapal tambangan. Walaupun pemilik kendaraan roda empat harus mengelus dada, karena kapal tambangan tersebut hanya mampu mengangkut manusia dan kendaraan roda dua, tapi kabarnya pemerintah nantinya juga akan menyediakan kapal fery, sehingga kendaraan roda empat dan diatasnya dapat terlayani. Karena lamanya waktu tempuh, macet dan singgah-singgah mengambil foto, maka tiba di tenggarong saat matahari sudah hendak kembali ke peraduan, namun saya menyempatkan ke mangkurawang, tempat mangkal kapal-kapal tambangan tersebut, sempat ngambil foto walau hasilnya agak gelap, dan tanya-tanya ke warga yang mengantri giliran naik tambang.  Rupanya ongkos naik tambangannya cukup murah, tak perlu merogoh kocek dalam-dalam, Rp. 3.000 sudah termasuk ongkos angkut motornya. Menurut keterangan petugas, "pelabuhan" mini ini buka hampir 24 jam, dari pukul 05 subuh sampai 11 malam, mengingat banyaknya masyarakat yang ingin memanfaatkan jasa mereka. Sedikitnya ada 11 kapal yang disediakan, semuanya sarat penumpang, mengingat dalam setiap kapalnya hanya mengangkut maksimal 20 penumpang, sehingga cukup panjang juga antrian, bahkan untuk mengantisipasi membludaknya penumpang, maka dibuka pula pelabuhan sejenis di daerah kampung baru. 3. Jembatan lainnya di Indonesia Berita runtuhnya jembatan termegah di propinsi kaltim tersebut, menyadarkan beberapa daerah yang juga memiliki jembatan walau tak sejenis untuk tidak mengalami nasib yang sama dengan jembatan tersebut. Seperti diberitakan di beberapa media, bahwa pemerintah popinsi Jatim telah melakukan antisipasi untuk mencegah ambruknya jembatan Suramadu dengan memasang sensor magnetik pada kawat baja yang menarik jembatan di bentang tengah yang berfungsi untuk mengetahui ketegangan antara kawat baja dan konstruksi bangunan jembatan. Selain itu dipasang juga katodik atau alat penghilang kadar garam, sehingga mengurangi resiko korosi pada tiang besi jembatan tersebut. 4. Kontraktor Jembatan runtuh, berarti akan ada proyek baru. Proyek pembangunan jembatan pengganti tersebut pastilah merupakan proyek besar dengan nilai yang besar juga, bahkan akan terlihat fantastis bagi kebanyakan orang. Beberapa kontraktor besar tentu sudah melakukan ancang-ancang dan strategi untuk memenangkan tender, karena sudah terbayang di benak mereka akan rupiah demi rupiah yang bisa dikeruk dari hasil proyek pembangunan jembatan prestisius tersebut.

5. Koruptor Nah ini dia pihak yang paling banyak mengeruk untung dari musibah runtuhnya jembatan kukar, mereka (baca: para koruptor), bukan saja akan untung besar, bahkan tak perlu mengeluarkan modal sepeserpun seperti halnya para pedagang, pemilik kapal tambangan atau kontraktor. Para pedagang hanya menikmati untung dalam hitungan hari, karena pendapatan mereka akan kembali seperti biasa atau bisa saja malah menurun, seiring makin berkurangnya masyarakat yang mengunjungi lokasi runtuhnya jembatan. Demikian pula halnya pemilik kapal tambangan, meskipun mereka bisa meraup untung sedikit lebih lama daripada pedagang, tapi toh nilainya tak akan menyamai para koruptor ini. Mereka meraup untung secara cerdik, tak terlihat namun nyata, bahkan nyaris tanpa jejak (tak ada kwitansi atau tanda terima apapun). Biasanya mereka kongkalikong dengan calon kontraktor yang ingin dimenangkan, dengan perjanjian secara tak tertulis, tapi harus segera “dilunasi” sebelum SPK (Surat Perintah Kerja) diterbitkan. “Jatah” yang mereka minta tak tanggung-tanggung, bisa memangkas anggaran proyek 10 – 20 %.  Jika demikian adanya, lalu dimana kontraktor mengambil margin keuntungan, lagi-lagi material bahan bangunan jembatan lah yang dikorbankan. Ujung-ujungnya siapa lagi kalau bukan rakyat kecil yang dijadikan korban. Catatan kecil : Beberapa analisis mengenai penyebab runtuhnya Jembatan Kukar, sudah banyak dibahas di beberapa media, termasuk  di kompasiana ini. Semuanya dibahas secara cerdas dan ilmiah sesuai keilmuan penulisnya. Bahkan ada yang membandingkannya dengan beberapa jembatan tua di daerah jawa yang tetap berdiri kokoh sampai saat ini. Tapi menurut saya yang tidak tahu apa-apa ini, benang merahnya ada pada jenis jembatannya, beberapa contoh jembatan yang masih berdiri kokoh sampai sekarang, termasuk jembatan mahakam 1, bukanlah tipe jembatan gantung. Dari kacamata awam saja dapat menilai, jembatan mana yang lebih kuat, jembatan dengan tiang penyangga atau jembatan gantung. Tidak salah sebenarnya membangun jembatan gantung, tapi jika menilik tabiat para birokrat yang selalu memangkas nilai proyek di negeri kita tercinta ini, maka membangun jembatan gantung sangatlah beresiko, pilihan membangun jembatan dengan banyak tiang penyangga tentunya lebih aman dari resiko ambruk, walaupun dananya sudah dipangkas seperti biasanya. Setidaknya asumsi sederhana beberapa orang yang saya temui yang merupakan korban selamat, mengatakan saat kejadian, nampaknya jembatan mengalami over load (baca: kelebihan beban), pada saat kejadian, kendaraan menumpuk di tengah jembatan sepanjang bentangan bebas tanpa tiang tersebut. Berbagai macam kendaraan tumplek bleg, didominasi oleh kendaraan-kendaran besar, macam truk bermuatan dan bus sarat penumpang, semuanya dalam keadaan berhenti atau berjalan pelan merayap, sehingga efek grafitasi bumi menambah beban jembatan. Pesan dari beberapa orang kepada pemerintah, jika praktek-praktek pemangkasan anggaran secara siluman tersebut, masih belum bisa dihilangkan, sebaiknya tak usahlah membangun jembatan gantung yang penuh resiko, sebaiknya buat saja jembatan dengan sebanyak-banyaknya tiang penyangga walau dengan demikian ponton batu bara sulit untuk melewatinya.

Jembatan Mahakam 3 atau biasa disebut jembatan Mahulu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun