Kita semua tentu masih ingat peristiwa ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara yang terjadi pada tanggal 26 November 2011 silam. Saat itu tepat pukul 16.20 Wita, puluhan kendaraan tercebur ke Sungai Mahakam, dari pemberitaan berbagai media diketahui 39 orang terluka ringan maupun berat serta 24 orang meninggal dunia sedangkan 12 orang dilaporkan hilang.
KINI... setelah 4 tahun peristiwa tersebut berlalu, Jembatan yang menghubungkan Ibu Kota Kabupaten Kukar dengan Tenggarong Seberang tersebut, kembali tegak kokoh berdiri di tempat yang sama. Jembatan pengganti tersebut konon sangat jauh berbeda dari pendahulunya, khususnya dari sisi keamanannya. Tipe Jembatan mengadopsi Continious Arch Bridge atau jembatan pelengkung menerus dengan rangka baja, detail singkatnya sebagai berikut:
- Panjang keseluruhan = 710 meter
- Panjang bentang utama = 470 meter
- Lebar keseluruhan = 10,45 meter
- Lebar lajur lalu lintas = 7 meter
- Tinggi jembatan diukur pada saat permukaan pasang tertinggi = 19 meter
- Tipe pondasi tiang pancang = steel pipe atau tiang pancang baja.
Tanggal 8 Desember 2015 yang lalu adalah akhir penantian panjang bagi masyarakat Kukar, karena tepat pada tanggal tersebut dilaksanakan uji coba pembukaan (Soft Opening) Jembatan Kukar untuk pertama kalinya, seluruh rakyat Kukar menyambutnya dengan suka cita, namun dibalik efuoria tersebut ada yang berduka, mereka adalah sekelompok masyarakat yang selama kurun waktu 4 tahun tersebut, mengandalkan mengepulnya asap dapur mereka dari bayaran orang-orang yang memakai jasa mereka menyeberangkan kendaraan dari Tenggarong ke Tenggarong Seberang dan sebaliknya.
Boleh dikata sejak runtuhnya Jembatan Kukar sampai dengan saat diresmikannya penggunaan jembatan gantung terpanjang di Indonesia tersebut, itulah masa-masa keemasan mereka, pundi-pundi uang mereka tak pernah kering. Seorang pemilik kapal tambangan yang bernama Pak Slamet menuturkan bahwa di awal-awal pada saat kapal fery (baca: kapal tambangan) belum menjamur seperti sekarang dan dermaga-dermaga tambat masih bisa dihitung jari, masing-masing dari mereka bisa menyeberangkan tak kurang dari 400 unit mobil dan 1000-an motor setiap harinya.
Ruarr Biasa.... Hitung saja penghasilan mereka jika jasa menyeberangkan 1 unit mobil dibanderol hingga Rp. 25.000 dan jasa menyeberangkan motor mereka kutip sebesar Rp. 3000,- lalu kalikan 30 hari. Yapp... puluhan juta rupiah per bulan sudah pasti meluncur ke kantong mereka.
Secara kebetulan kondisi mereka saat ini adalah bak anti klimaks dengan apa yang pernah penulis publish 4 tahun yang lalu di blog terbesar di Indonesia ini (Meraup Untung dari Jembatan Runtuh). Memang benar adanya kata para pujangga
“Tak Ada Yang Abadi Di Dunia Ini”, karena setiap sesuatu yang mengalami masa kejayaan, siap-siap saja suatu saat akan mengalami kejatuhan, yang membedakan hanyalah durasinya, ada yang menikmatinya cukup lama, tapi ada juga yang hanya sekejap mata.
Jangan
TAKABBUR atau Sombong dan Sedia Payung Sebelum Hujan adalah nasehat yang bijak bagi siapa saja yang saat ini masih diselimuti KESUKSESAN, karena bagaimanapun dahsyatnya badai.. pasti akan reda jua. Siang pasti tergantikan oleh malam, Setelah tawa pasti tangis dan sebaliknya setelah sedih pasti bahagia.
Cat: Penulis sempat ditegur oleh Satpol PP saat mengambil gambar jembatan tersebut dari dekat, soalnya pejalan kaki tidak diperbolehkan melintas di trotoar jembatan, apalagi selfie-selfie-an di atas jembatan... he he he...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya