Mentari pagi menyinari wajah Naya yang masih terlelap. Â Bau kopi dari dapur membangunkannya perlahan. Â Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-17, dan ia merasa... hampa. Â Tidak ada balon, tidak ada kue, tidak ada pesta. Hanya kesunyian di rumah kecil mereka yang hanya dihuni dirinya dan sang nenek.
Â
Neneknya, perempuan tua renta bernama Mbok Darmi, sedang sibuk di dapur. Wajahnya yang keriput tampak lelah, tetapi senyumnya tetap ramah saat melihat Naya bangun. "Selamat ulang tahun, cucuku," katanya seraya menyodorkan secangkir kopi susu hangat.
Â
Naya tersenyum tipis. "Terima kasih, Nek." Ia menyesap kopinya, rasa pahit manisnya sedikit menghibur hatinya yang sendu. Ia merindukan keluarganya yang lain, orangtuanya yang bekerja di kota besar dan jarang pulang.
Â
Sepanjang hari, Naya membantu Mbok Darmi mengurus pekerjaan rumah. Mereka menghabiskan waktu dengan bercerita, Mbok Darmi bercerita tentang masa mudanya, tentang ayahnya yang dulu seorang pelaut, tentang petualangannya mengelilingi pulau-pulau kecil di sekitar kampung mereka. Cerita-cerita itu membangkitkan rasa ingin tahu Naya.
Â
Sore harinya, Naya berjalan-jalan di pantai dekat rumahnya. Angin laut menerpa wajahnya, membawanya pada ketenangan. Ia melihat seorang anak kecil sedang bermain pasir, tertawa riang. Senyum anak itu mengingatkannya pada masa kecilnya yang bahagia, sebelum orangtuanya pergi.
Â
Saat matahari mulai tenggelam, Naya duduk di tepi pantai. Ia melihat sebuah kerang yang indah terdampar di pasir. Ia mengambilnya, dan di dalam kerang itu, ia menemukan sebutir mutiara kecil yang berkilauan. Mutiara itu tampak sederhana, tetapi bagi Naya, itu adalah hadiah ulang tahun yang paling berharga.