Mohon tunggu...
Rafaveer
Rafaveer Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

S1 Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cyber Jihad di Tengah Pandemi

23 Desember 2020   09:33 Diperbarui: 23 Desember 2020   09:39 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia telah memicu era baru pada teknologi, salah satunya adalah dengan peningkatan perilaku digital masyarakat, sebut saja program Work From Home dan School From Home menjadi suatu keharusan bagi setiap orang untuk terlibat langsung dengan teknologi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Peningkatan ini berlangsung secara signifikan, namun ironisnya dibalik maraknya penggunaan internet dengan segala komputasi, nyatanya merupakan bentuk eksposure terhadap informasi pribadi, dalam hal ini pengguna internet menjadi rentan terhadap apa yang dikenal sebagai cyber crime.

Cyber Crime adalah tindak kejahatan di ranah dunia maya yang memanfaatkan teknologi komputer dan jaringan internet sebagai sasaran. Seiring berkembangnya zaman, cyber crime tidak hanya berkutat dengan ilmu komputasi seperti hacking, defacing, ataupun carding namun merambah pada kejahatan trans-nasional seperti terorisme, yang belakangan ini dikenal sebagai Cyberterrorism, yakni penggunaan komputer, jaringan, dan internet umum yang disengaja untuk menyebabkan kerusakan dan bahaya bagi tujuan pribadi dengan tujuan politis ataupun ideologis.

Salah satu bentuk cyber terrorism yang marak adalah cyber jihad yang dalam praktiknya ternyata tidak memerlukan sarana prasarana yang kompleks. Menurut Dr. Reinhard Petrus Golose dalam buku "Invasi Terorisme ke Cyberspace", kelompok jihadis menggunakan peluang dari internet untuk melakukan teror yang dikenal dengan 9P, yaitu:

  • Propaganda: Upaya sekelompok orang untuk mempengaruhi orang-orang yang belum memiliki pemahaman radikal.
  • Perekrutan: Aktivitas kelompok teror untuk menarik pengikut atau anggota baru yang dilakukan melalui cyberspace baik dalam maupun luar negeri.
  • Pendanaan: Proses penggalangan dana dengan menggunakan media sosial untuk kepentingan kelompok teror berkedok sodaqoh dan infaq yang meliputi penyediaan, penggunaan, dan peminjaman.
  • Pembentukan Paramiliter: Serangkaian aktivitas teror untuk mengajak beberapa orang sehingga memiliki keterampilan militer dan mempunyai kemampuan melakukan serangan teroris.
  • Pelatihan: Mengembangkan kelompok atau individu teroris guna melakukan perencanaan serangan latihan gerilya yang didapat dalam bentuk pdf atau video.
  • Penyediaan Logistik: Pembekalan melalui cyberspace untuk memenuhi perlengkapan kegiatan tindak pidana terorisme.
  • Perencanaan: Menentukan tujuan, strategi, taktik, dan operasi untuk serangan teror melalui media sosial.
  • Pelaksanaan Serangan Teror: Upaya menentukan target sasaran tindak pidana teror.
  • Persembunyian: Aktivitas terorisme dalam menyembunyikan identitasnya di cyber space.

Adapun platform media sosial yang paling digunakan dalam jihad online antara lain Telegram, Whatsapp, Facebook, dan Instagram. Kelompok teror di Indonesia yang melakukan upaya ini antara lain JAD, JAK, dan MIT yang berafiliasi dengan ISIS sedangkan JI dan JAS berafiliasi dengan Al-Qaeda.

Selama pandemi, sejumlah Rumah Qur'an yang terafiliasi dengan JAK memulangkan siswanya karena koronavirus dan memanfaatkan platform Zoom untuk melaksanakan kajian. Sementara MIT, menyebarkan konten video berisi pemenggalan dengan korban mantan anggota  kelompok itu sendiri. 

Model penyebaran sepert itu adalah teknik klasik dari kelompok ISIS di Timur Tengah yang diinterpretasikan sebagai bentuk sisa eksistensi, serta untuk menunjukkan bahwa mereka masih kuat. Sedangkan untuk JAD, eks napiter, dan deportan, pola pergerakannya bersifat jangka pendek dengan agenda seperti ammaliyah, hijrah, tadrib militer, dan tamkin. Potensi tersebut dikuatkan dengan tren pergerakan yang tidak terorganisasi serta didominasi sel-sel kecil berbasis media sosial.  Sedangkan untuk JAS melanjutkan aktivitas suro dan menggunakan media teleconference.

Kelompok -- kelompok di atas melancarkan provokasi melalui cyberspace dan media sosial misalnya dalam publikasi Voice of Hind oleh ISIS. Potensi ancaman yang ditimbulkan ialah beredarnya grup-grup jaringan ISIS di media sosial yang berdampak pada pengabaian protokol kesehatan dan bahaya Covid-19 serta aksi-aksi teror lonewolf. Selain itu terdapat pula, seruan aksi teror dengan sasaran APKAN, seruan aksi fa'I, press release aksi ammaliyah, serta penyebaran teknik pembuatan bom. Potensi yang ditimbulkan tentunya adalah munculnya sel-sel kecil atau individu lonewolf yang pergerakannya berorientasi pada aksi teror di dalam negeri.

Hal ini didukung dengan space transition theory yang memaparkan 7 preposisi. Namun dalam konteks cyber jihad yang terlihat dalam respon kelompok JAK dan JAS, maka terdapat dua preposisi yang dianggap memiliki relasi terhadap tersebut. Preposisi (1) menjelaskan bahwa kelompok Al-Qaeda dan ISIS pada kondisi yang normal akan melakukan kejahatan (kajian dengan tujuan menanamkan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme) di ruang fisik mengalami represi sehingga mereka melakukannya di dunia maya. Preposisi (2) menjelaskan bahwa AQ dan IS dalam menggeser tindakannya, mengadakan kajian secara online yang dirasa lebih aman (risiko tertangkap lebih rendah). Platform seperti Zoom telah memiliki pengamannya sendiri seperti password dan waiting room, sehingga para pelaku dapat melakukan screening terhadap partisipannya agar tidak disusupi.

Cyber Jihad ini jelas merupakan ancaman bagi ideologi generasi muda mengingat media yang digunakan adalah yang sangat dekat dengan remaja Indonesia. Meski tidak tampak secara kasat mata dan juga tidak dirasakan secara langsung, cyber jihad  ini tidak berbeda dengan jihad konvensional pada umumnya dengan tujuan menggalang calon jihadis agar bertindak sesuai keinginan mereka.

Cyber Jihad merupakan bentuk ancaman yang dapat kita lihat dari faktor intention dimana para jihadis online ini memang berniat untuk melakukan jihad secara online entah karena sulitnya jihad secara konvensional di tengah pandemi atau memang hanya melanjutkan cara lama mereka untuk menggaet partisipan baru, apabila dilihat kapabilitasnya, cyber jihadist memiliki kemampuan yang sama dalam menggalakan jihad online ataupun konvensional, 

sedangkan dilihat dari opportunity-nya, para cyber jihadist ini memiliki peluang untuk melakukan jihadnya secara lebih mudah, murah, efektif, serta efisien. Namun apabila dilihat dari tingkat kerawanannya (vulnerability), jihadis online tidak dapat memantau secara langsung perkembangan pergerakan propaganda jihad yang telah mereka buat karena apa yang ditampilkan di dunia maya belum tentu merupakan yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun