Pada 13 Mei 2018, Indonesia diguncang oleh serangkaian bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Serangan ini tidak hanya mengejutkan bangsa, tetapi juga dunia internasional, mengingat bahwa pelaku terorisme yang terlibat adalah satu keluarga. Kasus ini mengungkapkan banyak permasalahan mendalam terkait radikalisasi, intoleransi agama, dan dampaknya terhadap kehidupan sosial di Indonesia.Â
Serangan dimulai dengan bom bunuh diri yang meledak di Gereja Santa Maria Tak Bercela sekitar pukul 07:30 WIB. Pelaku bom bunuh diri pertama adalah sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan dua anaknya, yaitu seorang perempuan dewasa dan seorang remaja laki-laki. Tidak lama setelah itu, ledakan bom juga terjadi di GKI Diponegoro dan GPPS Arjuna. Total, terdapat 14 korban meninggal, termasuk pelaku, dan lebih dari 40 orang mengalami luka-luka, termasuk jemaat yang sedang melaksanakan ibadah Minggu. Serangan ini sangat menghebohkan masyarakat Indonesia karena melibatkan seluruh anggota keluarga---ayah, ibu, dan anak-anak---yang terlibat dalam aksi terorisme. Tindakan ini memperlihatkan betapa dalamnya proses radikalisasi yang bisa menular dalam sebuah keluarga.
Pelaku bom bunuh diri adalah keluarga Dita Oepriarto, seorang pria yang diketahui memiliki hubungan dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok teror yang berafiliasi dengan ISIS. Istrinya, Puji Kuswati, dan dua anaknya yang masih remaja, yaitu Fauzan dan Alifia, juga terlibat dalam aksi ini. Dita Oepriarto sendiri adalah salah satu anggota yang aktif dalam jaringan terorisme, yang pernah terlibat dalam aksi-aksi radikal dan sudah dipantau oleh aparat. JAD, yang dikenal memiliki jaringan luas, terlibat dalam beberapa aksi terorisme di Indonesia, termasuk pemboman, penembakan, dan serangan lainnya. Mereka memandang Indonesia sebagai negara yang perlu ditaklukkan untuk mendirikan negara Islam berdasarkan ajaran ekstremisme. Yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa keluarga ini melibatkan anak-anak mereka dalam aksi teror tersebut. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya proses radikalisasi di kalangan anggota keluarga, yang bahkan menyentuh anak-anak yang seharusnya dilindungi dari pengaruh kekerasan dan ekstremisme.
Serangan bom gereja ini tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga menimbulkan trauma yang mendalam bagi masyarakat Indonesia. Gereja-gereja yang menjadi target adalah tempat ibadah, yang seharusnya menjadi ruang yang aman untuk berdoa dan berkumpul. Namun, serangan ini menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman dari ancaman terorisme. Dampak psikologis bagi masyarakat Indonesia sangat besar, terutama bagi kelompok agama minoritas. Serangan ini memperburuk ketegangan sosial yang sudah ada di Indonesia, yang memiliki keragaman agama dan budaya. Banyak orang yang mulai merasa terancam dan takut untuk menjalani kehidupan sehari-hari, terutama dalam beribadah, karena serangan yang sangat dekat dengan kegiatan agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H