Mengalami sendiri perbedaan dengan hidup bersama-sama dalam satu atap selama beberapa hari, membuka mata kami semua. Berita-berita miring yang memojokkan agama tertentu, ternyata tidak terbukti dengan melihat langsung kehidupan sehari-hari. Sungguh, keterbukaan Pesantren untuk menerima murid SMA Kanisius, menunjukkan bahwa menerima siswa-siswa dari latar belakang agama lain, sama sekali tidak mengurangi iman Islam. Sebaliknya, murid-murid SMA Kanisius juga dapat mengalami sendiri, indahnya hidup berdampingan dengan para santri. Tidak ada usaha menunjukkan agama satu lebih baik daripada agama lain.
Rasa saling menghormati, saling menghargai dan mengerti perbedaan akan menjadi bibit untuk menjaga persatuan bangsa. Apabila di kemudian hari, para remaja ini dihadapkan pada peristiwa yang berusaha mendiskriminasi suatu agama tertentu, semoga mereka mengingat pengalaman hari ini, yang sudah mereka rasakan sendiri, bahwa hidup bersama berdampingan dan saling menghormati itu mungkin dan indah.
Seperti Paus Fransiskus yang memuji semboyan bangsa kita, Bhinneka Tunggal Ika dalam pidatonya, "Semboyan ini mengungkapkan realitas beraneka sisi dari berbagai orang yang disatukan teguh dalam satu bangsa". Paus mengungkapkan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada bagaikan unsur-unsur keramik dalam pembentukan mozaik besar yang autentik dan berharga.
Begitulah. Kita harus berpengertian satu sama lain. Menghormati sesama hanyalah awal dari persatuan di era yang baru ini. Mari mewujudkan toleransi, mulai dari sesama kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H