Beberapa waktu yang lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan harga BBM yang cukup mengagetkan masyarakat. Yaitu, kenaikan harga BBM Pertalite dari 7.650 menjadi 10.000 per liter. Keputusan ini menimbulkan gejolak di rakyat Indonesia, sebagian besar menolak kebijakan tersebut. Hasil survei LSI menyebutkan bahwa 58,7% masyarakat tidak setuju harga BBM dinaikkan, dan sekitar 26,5% yang setuju. Dalam kesempatan ini, aku mencoba untuk menganalisa lebih dalam dari alasan dan tujuan pemerintah mengambil keputusan ini. Dan juga, apa yang menjadi keluh kesah dari masyarakat.
Kenaikan harga BBM ini menimbulkan ketidaksetujuan di masyarakat. Karena, kondisi perekonomian masyarakat masih cenderung belum stabil dikarenakan pandemi Covid 19. Di samping itu, harga harga bahan pokok juga cenderung mengalami kenaikan, seperti harga telur.Â
Alasan dari dinaikkannya harga BBM adalah karena membengkaknya anggaran yang telah dikeluarkan pemerintah untuk mengsubsidi BBM, yaitu sebesar 502 triliun. Namun, setelah dilakukan evaluasi, ternyata subsidi BBM tersebut justru tidak tepat sasaran, karena sebagian besar konsumen BBM bersubsidi yaitu sebanyak 80% adalah masyarakat mampu. Hal itu bertentangan dengan tujuan dari BBM subsidi yaitu untuk masyarakat berekonomi menengah kebawah yang justru hanya 20% dari konsumen BBM subsidi. Sehingga berdasarkan evaluasi tersebut, pemerintah mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM. Namun, sebagai gantinya pemerintah mengeluarkan BLT/Bantuan Langsung Tunai BBM kepada masyarakat kurang mampu dengan jumlah 150 ribu/bulan kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat selama 4 bulan. Ditambah lagi dengan Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar 600 ribu kepada 14,6 juta pekerja dengan gaji dibawah 3,5 juta. Total anggaran Bansos yang dikeluarkan pemerintah adalah sebesar 22 Triliun.
Kebijakan ini tentu tidak mudah untuk diambil pemerintah. Walaupun akan menimbulkan gejolak, namun kebijakan inilah yang paling tepat untuk saat ini. Karena, jika pemerintah terus dipaksa untuk mengsubsidi BBM yang ujungnya tidak tepat sasaran, ini akan justru memengaruhi kondisi perekonomian negara yang akan menghambat pertumbuhan dan stabilitas. Masyarakat sebaiknya dapat lebih dewasa dalam menyikapi suatu kebijakan, tidak hanya memikirkan aspek jangka pendek tapi juga jangka panjang. Masyarakat juga harus membaca suatu fenomena politik dengan lebih komprehensif dan tidak emosi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H