Seorang advokat diharuskan untuk menunjukkan sikap profesionalisme melalui perilaku dan tindakannya dalam kaitannya dengan klien yang diwakilinya. Dalam proses membela klien, komitmen advokat terhadap etos profesional akan selalu dipertahankan dan dimanifestasikan jika ia secara ketat mematuhi standar etika profesional sebagai kerangka kerja dalam menavigasi kepentingan hukum kliennya. Ini berarti memberikan prioritas pada ketentuan undang-undang dan mandat peraturan yang berlaku, daripada hanya berfokus pada kepentingan pribadi.
Jika merujuk pada manfaat dan fungsi inti advokat yaitu menjunjung tinggi supremasi dan hak asasi manusia, namun dalam setiap profesi pasti terdapat kesalahan etika yang berdampak buruk bagi nama profesi tersebut, begitu juga dengan advokat untuk mengatur hak dan kewajiban profesi advokat serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, maka dibentuklah kode etik Advokat. Namun, pada kenyataannya masih ditemukan advokat yang melanggar kode etik, salah satunya adalah penyuapan.
Kasus ini bermula dari pembebasan Ronald Tannur, seorang terdakwa dalam kasus pembunuhan yang menggemparkan publik. Tannur yang dituduh melakukan penganiayaan dan menyebabkan kematian terhadap kekasihnya Dini Sera Afrianti, divonis bebas pada Juli 2024 oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Erintuah Damanik
Putusan tersebut kontroversial, mengingat jaksa penuntut umum memiliki bukti kuat atas kekerasan yang dilakukan Tannur, termasuk ditemukannya luka-luka serius pada tubuh korban yang diduga disebabkan oleh mobil. Namun, belakangan terungkap bahwa putusan bebas tersebut diduga kuat dipengaruhi oleh penyuapan, dengan Lisa Rahmat, pengacara Ronald Tannur, yang diduga menjadi dalang di balik upaya penyuapan terhadap majelis hakim.
Kejaksaan Agung menegaskan bahwa Lisa Rahmat akan dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disertai ancaman hukum yang berat.
Dalam hal ini, penerapan sanksi kode etik terhadap Advokat yang melakukan tindakan suap baik sebagai pemberi maupun sebagai penerima harus dilakukan, sebagaimana pesan yang tertuang dalam aturan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UUA) dan (Kode Etik Advokat Indonesia) KEAI.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Advokat (UUA), khususnya pada huruf d, e, dan f, terdapat ketentuan yang secara langsung berkaitan dengan tindakan penyuapan yang dilakukan oleh seorang advokat. Perbuatan tersebut dapat dianggap melanggar aturan hukum dan juga dianggap sebagai perbuatan tercela, serta bertentangan dengan sumpah jabatan advokat yang ditegaskan dalam UUA dan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI).
Dalam penerapannya, sanksi pidana terhadap advokat yang terlibat dalam tindak pidana suap baru dapat diterapkan setelah ada putusan pengadilan yang memutuskan bahwa advokat tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana suap dan dijatuhi pidana. Setelah itu, sanksi yang tercantum dalam Kode Etik Advokat dapat diterapkan oleh Organisasi Advokat melalui keputusan Dewan Kehormatan, seperti teguran ringan, teguran keras, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap dari keanggotaan organisasi advokat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H