"Apa itu gengsi? Saat kita melakukan sesuatu hanya agar tidak kalah dengan orang lain. Itulah gengsi. Membuat hidup kita penuh kepalsuan." - Tere Liye
Gengsi adalah salah satu bagian dari martabat atau harga diri seseorang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gengsi dapat diartikan sebagai kehormatan, harga diri, dan martabat.Â
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ketika kita merasa gengsi dan menunjukkannya kepada orang lain, kita justru akan membagikan kebohongan kepada orang tersebut.Â
Gengsi telah menjadi salah satu permasalahan di kalangan anak muda, terutama bagi para siswa SMA Kanisius. Tingginya gengsi di kalangan anak Kanisius membuat banyak dari mereka yang sulit berkomunikasi dengan orang baru. Hal ini terbukti saat para siswa kelas 10 menjalani kegiatan Jambore di Bukit Cinta Telaga Menjer, Desa Menjer, Wonosobo.
Seperti pengalaman yang saya alami sendiri. Ketika berdinamika bersama warga sekitar Desa Menjer, banyak anak Kanisius yang sulit berkomunikasi dengan para warga, sehingga ketika sedang berbicara, para warga cukup kesulitan untuk memahami apa yang dikatakan oleh anak Kanisius. Banyak anak Kanisius yang menggunakan bahasa sehari-hari di kota Jakarta selama berkegiatan di sana. Tentunya warga di Desa Menjer kesulitan memahami bahasa tersebut, mengingat bahasa utama yang digunakan oleh warga sekitar Wonosobo adalah Bahasa Jawa. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya beberapa warga yang masih memahami Bahasa Indonesia yang banyak digunakan oleh anak Kanisius. Biasanya, warga yang lebih memahami bahasa-bahasa anak muda cenderung memiliki usia di bawah 30 tahun.
Selain karena penggunaan bahasa Jakarta, penyebab anak Kanisius kesulitan berkomunikasi dikarenakan gestur tubuh yang terlalu kaku. Ketika kita sedang berbicara dengan lawan bicara kita, meski lawan bicara kita tidak mengerti bahasa yang kita gunakan, kita dapat menggunakan gestur tubuh yang bisa menggambarkan apa yang sedang kita bicarakan. Sehingga, lawan bicara kita dapat setidaknya memahami konteks yang sedang dibicarakan satu dengan yang lain. Namun, apabila kita menggunakan gestur tubuh yang kaku, maka lawan bicara kita tidak akan memahami apa yang sedang dibicarakan. Misalnya, ketika hendak mengatakan "iya pak/bu," kita dapat mengangguk sedikit untuk menandakan bahwa kita mau menerima hal yang diberikan atau hal lainnya. Sementara, jika kita justru menarik kepala kita ke belakang pada saat berkata "iya," lawan bicara jutru akan mengira bahwa kita menolak apa yang sudah mereka tawarkan. Tentunya hal ini tidak bisa terus-menerus kita gunakan sebagai kebiasaan sehari-hari.
Tidak hanya masalah gaya berbicara dan gestur tubuh, banyak anak Kanisius yang masih memiliki mindset seperti kebanyakan orang Jakarta.Â
Banyak yang berpikir bahwa warga sekitar Wonosobo tidak bisa memahami bahasa Jakarta, sehingga mereka tidak perlu berkomunikasi dengan warga sekitar. Namun mindsdet tersebut yang justru menunjukkan bahwa anak Kanisius memiliki tingkat gengsi yang tinggi. Niatnya bertemu dan berinteraksi dengan warga sekitar, situasi justru menjadi aneh ketika tidak ada anak Kanisius yang memberanikan diri untuk berbicara dengan warga sekitar.
Sebagai anak Kanisius, tentunya hal ini patut dihindari bersama, dengan tujuan supaya komunikasi dengan sesama di sekitar kita bisa berjalan dengan lebih lancar.Â
Hal ini bisa kita mulai dari dalam lingkungan sekolah terlebih dahulu. Ketika berada di lingkungan sekolah, kita harus memberanikan diri untuk berinteraksi dengan semua yang ada di sekolah, baik itu teman, guru, maupun karyawan. Jika dengan teman sendiri saja kita masih belum berani berinteraksi, bagaimana dengan warga di sekitar lingkungan kita?Â