Yogyakarta (15/3) - Undang-undang MD3 yang mulai berlaku hari ini menuai bermacam reaksi warganet. Sebagian besar warganet menganggap UU ini sebagai upaya mencederai demokrasi.
Berbagai aksi mulai bergerak untuk menolak Undang-undang yang sedang direvisi tersebut. Hal ini terjadi karena UU ini berpotensi mencederai kebebasan berpendapat yang diatur dalam UUD 1945. UU MD3 memungkinkan lembaga legislatif untuk mempidanakan siapapun yang mengkritik lembaganya maupun perorangannya. Dalam UU tersebut juga mengatur pemeriksaan terhadap anggota dewan harus melalui izin MKD dan Presiden.
Prof. Mahfud MD mengatakan, perkara penistaan atau penghinaan terhadap anggota dewan hanya dapat dilakukan jika yang diserang adalah pribadi bukan lembaga. Perkaranya pun atas nama pribadi dan merupakan delik aduan pribadi. UU MD3 memungkinkan lembaga untuk memperkarakan penistaan dan penghinaan kepada lembaga dan itu tidak boleh karena tidak seturut dengan UUD 1945. Demikian mantan hakim Mahkamah Konstitusi tersebut menjelaskan saat hadir pada talkshow Indonesia Lawyers Club di TVONE.
Berbagai kritik muncul di media sosial yang menyuarakan penolakan terhadap UU tersebut. Salah satu warganet dalam kicauannya mengatakan, UU tersebut memungkinkan adanya lembaga tertinggi negara kembali. Seperti pada masa lalu dimana ketetapannya tidak dapat dicabut kecuali oleh lembaga itu sendiri.
Namun di tengah ramainya hujatan warganet dan beberapa pelaku politik negeri, tidak ada cuitan dari Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah. Meskipun demikian, dilansir dari DetikNews (14/3), Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firmas Soebagyo mengatakan, sebagai lembaga negara DPR harus dihormati. Beliau menjelaskan, tidak semua orang (Legislatif) masuk kategori koruptor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H