Mohon tunggu...
Raendytia Warman
Raendytia Warman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Raendytia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orang Tua dan Pemikirannya

3 Februari 2014   15:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:12 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gulita larut entah apa yang aku fikir diantara orang - orang lain memikirkan hal yang ringan dan menyenangkan "mungkin". Kembali memorial yang mengakar tentang dusta-nya hidup, "Mereka" mereka para orang - orang dewasa yang selalu merasa paling benar, paling bisa, paling pintar (Pintar - pintaran sajalah mereka).

Larutnya malam tak seperti larutnya obat sakit kepala yang di masukkan ke dalam gelas berisi air yang diaduk seketika itu pun larut. Kadang aku bicara pada mereka yang ada di sekitaran mataku, aku berbicara aku bercerita walaupun aku tau mereka benda-benda mati yang tidak akan pernah menjawab satu kalipun. Tapi biarlah aku tak perduli yang penting menurutku aku bisa berbincang - bincang kecil tentang kehidupanku yang pahit ini melebihi obat - obat yang pernah aku telan.

Mereka hidup bersama dan berjalan bersama entahlah berapa tahun aku lupa sampai saat itu aku di hadirkan di bumi. Saat ini aku penuh dengan pertanyaan "Aku Lahir Untuk Apa" mereka selalu saja memikirkan ego masing - masing menganggap dirinya paling benar dan tepat. Gak bisa aku melawan takdir yang bisa aku lakukan hanya berdoa kepada tuhan sang empunya kuasa. Perpisahan kedua orang tua membuat aku muak, muntah dan pasti kecewa tak sedikit pun aku bisa mencerna apapun yang bisa di cerna manusia. "Apakah itu pemikiran orang yang sudah dewasa" yang katanya tau semua tentang hidup dan berhidup "Bodoh" itu kata yang terucap tiba-tiba pada malam itu, tapi menurutku pantas untuk sekedar menanggapi kehidupan yang terpaksa aku telan dengan perbuatan yang mereka lakukan.

Manis, asam, asin, getir, marah, kecewa dan muak.

Untuk apa aku hidup Untuk merasakan sakit
Untuk merasakan pahit
gara-gara perpisahan kedua orang tua yang aku hormati, sayangi dan banggakan. hahahaha puas kalian dengan apa yang kalian tunjukkan.

Kini aku hidup dengan dunia yang penuh warna tetapi hitamlah warna yang paling mendominasi seakan menceritakan kesuraman dan apapun entahlah aku sudah tak sanggup untuk berkhayal tentang sebuah warna lain. Tersentak, terbaring, menunggu beruntung dan terang menghampiri sekejap memberikan sedikit cahaya dari cengkraman malam pekat dan nikmat yang sangat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun