Aku terdiam ingin bercerita namun tiada teman bicara. Malam semakin larut bersama warna pandangan yang semakin memudar menyisakan hitam putih dalam mirat cerita cinta dibaluti sejuta luka.
Inginku bernyanyi mencoba kisahkan lukaku dengan sejuta perihnya bagai tergores rotan namun tak nampak. Darahnya semakin mengalir deras bercampur air mata. Ada sepenggal kisah pilu dalam sepiku yang tiada sebab.
Kutuang setetes ramuan sandiwara ke dalam  segelas racun. Kuletakkan ke dalam jiwa yang menyimpan sejuta cerita. Mencoba berbagi kisah mengukir senyum kepalsuan akhirkan derita tentang jiwa yang sepi merasa sendiri di antara tikus-tikus nakal yang mulai meminum racun.
Tertawa terbahak bersama isakan tangis yang mulai pecah tiada lagi sanggup dibendung. Meneriakkan pilu akan kisah sepi tak sanggup bertahan  bersandiwara, sebab aku bukanlah ahlinya dalam bersandiwara. Sepiku semakin terasa menyayat hati melukai pikiran menuntun jasad menjauhi dunia membawa langkah menggiring derita menuju jembatan pilu yang nampak indah, mampu menyelesaikan sesak.
Sepi ini biar kubunuh bersama tikus-tikus nakal yang mulai meminum racun dunia. Tak perlu sesal, sebab cerita telah berakhir sebelum terlahir seorang pemain baru. Biarkan peran ini kosong tak membentuk lambang  nol. Sebab tiada kekosongan pikiran membuat hati jenuh memilih pergi sebelum diusir. Biarlah berakhir sebelum seharusnya, agar semua terkenang akan diri yang tak pernah ada dalam ingatan siapa pun.
Polman, 9 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H