Mohon tunggu...
Rae Sita Michel
Rae Sita Michel Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance copywriter & content writer

Freelance copywriter & content writer who loves to learning anything

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Janji

21 Mei 2012   04:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:01 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terhempas begitu saja di bangku taman ini. Entah mengapa, aku hanya ingin menenangkan diri dari segala rutinitasku yang sangat padat. Kupandangi danau buatan di tengah taman untuk menentramkan hati. Pepohonan yang rimbun dan hijau membuat mataku beristirahat dari silaunya layar kaca laptop.

Teringat olehku beberapa tahun yang lalu. Tanganku sibuk menggunting dan menempel kertas di sebuah buku yang kubuat sendiri. Buku itu menceritakan tentang sesuatu dari diriku tentang dirinya. Ia yang selalu menggetarkan hatiku begitu indah. Aku selalu memikirkannya, menginginkannya, tapi aku tak banyak berharap darinya.

Lima tahun sudah berlalu. Aku tak tahu bagaimana kabarnya, sedang apa ia saat ini, bagaimana rupanya sekarang. Semua hilang sudah sejak kelulusan SMAku. Apakah ia masih mengingat janji itu?

Sebuah janji yang ia ucapkan padaku. Entah itu janji busuk atau janji yang pasti. Namun, yang kutahu pasti janji Tuhan lebih pasti dalam hidupku. Aku hanya mengingat janji itu tanpa terlalu mengharapkannya. Sama seperti lima tahun yang lalu. Aku memikirkannya tapi tak terlalu mengharapkannya.

“Permisi, Mbak. Boleh duduk disini?” sapa seorang lelaki.

“Silahkan, Mas,” jawabku seadanya tanpa meoleh. Tidak terlalu mempedulikannya.

“Kok sendiri aja, Mbak?”

Sudah dipersilahkan duduk, mengapa ia harus bertanya-tanya mengajak ngobrol sih? Kataku dalam hati.

“Memangnya kenapa?” jawabku sambil menoleh padanya.

“Hai, Dea,” sapanya. Aku terkejut melihat rupa laki-laki dihadapanku.

“Bagaimana kabarmu? Aku sudah lama mencarimu,” katanya. Lidahku kelu, tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Sama seperti lima tahun yang lalu ketika aku berada di dekatnya. Tak berani menyapa, hanya berani melihat dari jauh atau memantaunya lewat jejaring sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun