Mohon tunggu...
Rae Sita Michel
Rae Sita Michel Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance copywriter & content writer

Freelance copywriter & content writer who loves to learning anything

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kanibalisme dan Dilema dari Rokok

23 Juli 2014   21:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:26 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Rokok adalah benda yang dapat ditemui degan mudah dimana saja, oleh siapa saja, dengan harga yang sangat terjangkau. Aktifitas merokok juga merupakan hal yang biasa. Tidak hanya dilakukan oleh seorang laki-laki yang "dianggap" dewasa bertubuh atletis dan berjiwa petualang, tapi juga banyak ditemui pada remaja bahkan anak-anak dan perempuan yang berpenampilan modis dan lembut.

Iklan yang memasarkan rokok selalu menampilkan bahwa merokok adalah sesuatu yang keren dan hebat. Diakui oleh beberapa orang perokok, bahwa merokok dapat menghilangkan stress, mendatangkan ide, dan keisengan tersendiri dalam hidupnya. Padahal juga ada iklan layanan kesehatan masyarakat dan edukasi tentang zat-zat yang ada dalam rokok dan bahaya yang ditimbulkan oleh rokok. Bahkan penyakit yang ditimbulkan oleh merokok, lebih dari 20 diantaranya merupakan penyakit yang membunuh.

Tren merokok di luar negeri sempat terjadi beberapa tahun silam. Namun, semakin mereka menyadari akan pentingnya kesehatan, mereka meninggalkan rokok. Masyrakat yang sehat adalah yang dapat membantu bangsanya. Karena hal tersebut, rokok lama-kelamaan menjadi tidak laku dan perusahaan rokok mencari pasar lain agar perusahaannya tidak gulung tikar. Pasar yang dainggap baik adalah negara-negara berkembang dimana penduduknya banyak dan tingkat pendidikan dan pengetahuannya tidak begitu baik. Indonesia menjadi salah satu pasar bagi industri rokok. Selain itu, kita semua mengetahui bahwa maskayarakat Indonesia sangat suka "mengkonsumsi" bukan berproduksi.

Inilah bentuk kapitalisme yang dibawakan oleh industri rokok. Mereka mengetahui bahaya rokok, karena hal tersebut pekerja terutama pejabat perusahaan rokok tidak mengkonsumsi rokok. Mereka membuatnya untuk orang-orang yang mau memakainya dan mendapatkan keuntungan. Biaya produksinya murah dan harga jualnya termasuk tinggi walaupun terkesan murah. Kalau zaman dulu kanibalisme digambarkan secara gamblang, kini kanibalisme dilakukan oleh industri dan orang besar untuk memperoleh makanannya dengan membunuh orang lain, merampas kekayaannya, memenuhi lumbung-lumbungnya. Sesuatu yang terlihat biasa saja, tapi sangat jahat.

Bagai buah simalakama, kehadiran industri rokok di Indonesia selain membawa pemasukan cukai yang cukup banyak bagi negara kita, industri ini juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Mulai dari para petani tembakau, penjual eceran, buruh pabrik, atau "Big Man" perusahaan yang juga orang Indonesia. Di sisi lain kita semua tahu bahwa rokok selain berdampak buruk bagi kesehata, pemerintah harus menambah anggaran kesehatan karena penyakit yang diderita oleh warganya akibat rokok.

Kalau begini, harus bagaimana? Saya jadi bertanya, mengapa dulu rokok mudah sekali masuk di Indonesia? Apakah yang mempertimbangkan ini hanya pakar ekonomi, perpajakan, dan kebijakan publik saja dengan tidak melibatkan pakar-pakar di bidang kesehatan dan zat kimia? Menjadi hal yang sulit dilakukan karena menghilangkan rokok menyangkut berjuta-juta orang di negara ini. Bukan hanya "pasien" si perokok aktif tapi juga para pekerja di industri rokok. Mereka nantinya mau bekerja apa?

Bagi para perokok aktif, beberapa diantaranya ingin sekali berhenti merokok tapi tidak bisa. Ya, memang susah. Menurut dr. Dharmady Agus, spesialis kejiwaan, sewaktu saya menghadiri sidang promosi doktornya yang membahas tentang cara berhenti merokok mengatakan memang susah untuk berhenti merokok tanpa bantuan medis. Kemungkinannya hanya 2-10% jika tidak melalui jalur kedokteran. Secara bio-fisio, perokok aktif harus mengkonsumsi VT (Vareniklin Tartat) sebagai antagonis nikotin untuk mengurangi keinginan untuk merokok, selain mereka diberi edukasi dan melakukan terapi hipnosis untuk berhenti merokok. Sedangkan obat VT ini harganya mahal. Perokok membutuhkan 6 blister untuk pemakaian 12 minggu, sedangkan harganya Rp 200 ribu/blister.

Bagaikan lingkaran setan, mau berhenti saja harus mengeluarkan uang yang banyak, tapi kalau lanjut terus juga banyak uang yang dikeluarkan. Coba Anda hitung harga rokok dan jumlah konsumsi selama satu bulan! Berapa banyak gaji atau pendapatan yang Anda dapatkan hanya untuk "membunuh" diri Anda sendiri?

Di bawah ini ada sebuah video dokumenter yang cukup baik tentang merokok di Indonesia dan artikel yang saya tulis di media online kabar24.com terkait dengan cara berhenti merokok

http://www.kabar24.com/health/read/20140723/54/224989/berhenti-merokok-cobalah-terapi-hipnosis

Juga ditulis di blog pribadi saya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun