Mohon tunggu...
Raefa Raja
Raefa Raja Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Komunikasi dengan minat di berbagai bidang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Benang Kembar dalam Budaya Cancel Culture

25 September 2024   21:26 Diperbarui: 25 September 2024   21:30 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tahun 2022, Gofar Hilman seorang influencer otomotif digugat lewat Twitter oleh satu Perempuan yang menyatakan dirinya merupakan korban dari pelecehan yang dilakukan oleh Gofar Hilman. Sehingga pada akhirnya ribuan akun bermunculan untuk memberi sanksi sosial terhadap Gofar Hilman yang pada akhirnya membuat Gofar berhenti sejenak untuk bekerja dan bahkan sampai dikeluarkan dari perusahaan yang di mana Gofar merupakan salah satu stake holdernya.
Pada tahun 2022 Juga, Rex Orange County, penyanyi asal Inggris mendaptakan tuduhan yang sama melalui sosial media yang pada akhirnya membuat khalayak menyatakan sikapnya dengan berhenti mendengarkan dan menonton semua musik yang pernah dibuat oleh Rex Orange County.
Kedua hal tersebut merupakan contoh dari apa yang orang maksud dari "cancel culture" dan sebenarnya cancel culture terlibat di banyak kasus bukan hanya dari jenis kasus yang sudah disebutkan. Untuk mengupasnya lebih dalam, kita perlu tahu dulu apa arti dari cancel culture itu sendiri.
Cancel culture popular di 2010an akhir menuji 2020an awal, cancel culture merupakan sikap dalam komunitas yang menyerukan atau menyebabkan penarikan dukungan dari tokoh terkenal, seperti pembatalan peran akting, larangan memainkan musik artis, penghapusan dari media sosial, dll., biasanya merupakan  respons dari khalayak terhadap tuduhan tindakan atau komentar yang tidak dapat diterima secara sosial oleh tokoh tersebut.
Di dunia saat ini, di mana media sosial dan online platform memainkan peran besar dalam membentuk opini publik, cancel culture membuat perbincangan yang lebih luas tentang etika, kekuasaan, akuntabilitas dan juga menyoroti betapa cepatnya perubahan opini dan bagaimana individu dan organisasi mengatur dan mengontrol ekspektasi publik dan standar moral yang begitu kompleks. Pada akhirnya lewat cancel culture ini mengahruskan kita untuk lebih waspada dengan semua aksi kita terutama di internet dan yang paling penting adalah sikap kritis terhadap semua hal yang ada di Internet.

Cancel culture menjadi topik yang diperbincangkan karena lewat kemarahan massal tersebut pada akhirnya dapat dipersenjatai, itu bisa menjadi ancaman bagi yang tidak berdaya daripada bagi mereka yang dimaksudkan untuk dipertanggungjawabkan. Cancel culture juga selalu disinggung juga dengan ide kebebasan berpendapat yang pada akhirnya nyaris menjadi sesuatu yang paradoksal.
Di sisi negatif, cancel culture seringkali merusak reputasi individu atau kelompok, menyebabkan dampak finansial dan emosional yang berat. Ini bisa mengarah pada polarisasi dan kesulitan dalam mencapai dialog yang konstruktif. Terkadang juga isu yang digugat pun belum diketahui kebenarannya. Bahkan, sebelum tokoh yang tergugat itu dapat klarifikasi, dampak dari kemarahan massal itu sudah merugikan tokoh tersebut.
Di sisi positif, cancel culture dapat mendorong perubahan sosial dengan mengangkat isu-isu penting seperti kekerasan seksual atau diskriminasi. Ini memberi suara kepada kelompok yang termarjinalkan dan mendorong tanggung jawab dialog yang konstruktif.
Contoh buruk dari cancel culture adalah Ketika J.K. Rowling, penulis  Harry Potter, menghadapi kritik dan "pembatalan" di media sosial setelah membuat komentar yang dianggap transphobic (menghina komunitas transgender). Meskipun Rowling berargumen bahwa pandangannya tentang gender adalah hanua bagian dari diskursus feminis dan bukan untuk menjatuhkan pihak terkait, banyak orang merasa bahwa komentar tersebut merugikan komunitas transgender. Akibatnya, beberapa penggemar dan mitra bisnisnya memutuskan hubungan dengan dia, dan karya-karyanya pun diboikot. Dalam kasus ini, efek cancel culture ini  tidak hanya memengaruhi reputasi dan opini publik tentang Rowling tetapi juga berdampak pada pendapatan dan dukungan yang dia terima dari penggemar dan mitra-mitranya.

Dalam konteks contoh yang positif adalah Ketika Harvey Weinstein, seorang produser film terkenal, menghadapi "pembatalan" publik yang luas setelah banyak perempuan mengungkapkan kekerasan seksual dan pelecehan yang dilakukan olehnya. Kasus ini terkenal dengan tagarnya yaitu #MeToo dan akhirnya memicu perubahan signifikan dalam industri hiburan dan melahirkan diskusi lebih e tentang kekuasaan, perilaku seksual, dan perlakuan terhadap perempuan di tempat kerja. Pembatalan Weinstein tidak hanya membawa keadilan bagi para korban-korbannya, tetapi juga mendorong perubahan dan peningkatan kesadaran tentang masalah-masalah ini di seluruh masyarakat, yang diharapkan dapat membantu mencegah kejadian serupa di masa depan.

Kedua contoh tadi menunjukkan bagaimana cancel culture dapat berdampak besar, baik dalam hal yang merugikan individu atau memberikan manfaat positif bagi masyarakat luas.
Meskipun cancel culture sering kali dianggap negatif, cancel culture berpotensi menjadi budaya yang positif dalam kaitannya dengan perubahan sosial. Cancel culture dapat memperkuat suara orang-orang yang sering terpinggirkan dengan mengangkat topik-topik penting seperti pelecehan seksual dan diskriminasi serta mendorong perbincangan tentang hal tersebut. Suara dai banyak masyarakat dapat berfungsi sebagai sarana untuk menuntut perubahan ketika keadilan tradisional tampaknya tidak mencukupi.

Harvey Weinstein adalah contoh utama bagaimana budaya pembatalan dapat mewujudkan keadilan dan memicu perubahan di sektor-sektor perekonomian yang jika tidak, dapat terus menimbulkan kerugian. Di sisi lain, situasi yang lebih kontroversial menekankan perlunya menyeimbangkan percakapan budaya pembatalan dengan wacana produktif untuk mencegahnya digunakan sebagai instrumen ketidakadilan.

Dengan demikian, cancel culture berfungsi sebagai pengingat bahwa setiap tindakan publik harus mempertimbangkan dampaknya pada orang lain, mendorong kita untuk lebih kritis dan empatik. Dalam dunia yang terus berubah, kemampuan untuk menuntut tanggung jawab dari tokoh publik dan menyoroti isu-isu yang mendesak adalah bagian penting dari upaya kita menuju masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun