Teater pentas berjudul "Yang Tertinggal di Jakarta" merupakan persembahan dari Teater Titimangsa yang diunggah pada channel Budaya Saya dalam playlist DTS (Di Tepi Sejarah). Teater yang tayang pada 31 Agustus 2022 ini diproduseri oleh Happy Salma dan Yulia Evinabhara, disutradarai oleh Sri Qadariatin, dan dituliskan naskahnya oleh Felix Nesi.
Teater "Yang Tertinggal di Jakarta" berbentuk monolog, yaitu drama berisi satu orang yang bisa menjadi bentuk teater yang kuat.
Teater tersebut menceritakan sosok Emiria Soenassa---seorang pelukis perempuan pertama di Indonesia (1895-1964)---yang diperankan oleh Dira Soegandi. Emiria baru mulai melukis ketika usianya menginjak 45 tahun dan begitu produktif menghasilkan karya.
Teater ini memiliki judul menarik yang tentunya berhubungan dengan isi cerita. Pemilihan judul "Yang Tertinggal di Jakarta" menggambarkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh Emiria Soenassa usai meninggalkan kota Jakarta.
Dira Sugandi sebagai pelaku tunggal amat piawai membawakan cerita seorang diri melalui monolog. Dengan background-nya sebagai penyanyi, Dira membuat karakter Emiria Soenassa menjadi amat hidup lewat suara berat yang ia miliki.
Lukisan-lukisan Emiria dikenal merepresentasikan penolakan terhadap pandangan maskulin. Emiria tidak melukis perempuan sebagai gambaran atau obyek yang indah dan enak dipandang. Dia fokus kepada persoalan yang dihadapi perempuan sehari-hari, seperti himpitan akan budaya patriarki, keterasingan, hingga kemerdekaan atas tubuhnya sendiri.
Jika dilihat dari sumber yang menerangkan tentang bagaimana pemikiran sosok Emiria Soenassa, Dira Sugandi memberi penggambaran yang matang tentang cara pandang, keresahan, dan kebingungan yang dialami Emiria dengan gestur dan mimik muka, sekaligus memperjelas sisi kebanggaan tokoh Emiria akan dirinya sendiri. Hal ini sangat membantu penonton untuk memahami karakter serta konflik yang terjadi.
"Yang Tertinggal di Jakarta" berlatar ruangan kamar hotel di Singapura yang dikisahkan sering disinggahi oleh Emiria. Properti-properti ruangan terlihat sudah cukup memadai. Tata cahaya dibuat tidak begitu terang, lebih difokuskan untuk memperlihatkan karakter utama yang berjalan ke setiap sisi ruangan selama bermonolog.
Karena alur dalam pertunjukkan dipergunakan untuk mengembangkan tokoh, penonton diarahkan untuk memperhatikan setiap tindak-tanduk tokoh yang sedang bermain.