Budaya malu (shame culture) adalah budaya yang didasarkan pada konsep rasa malu atau 'kehilangan wajah' di hadapan orang lain. Dalam budaya ini, norma dan nilai-nilai masyarakat ditegakkan dengan mengandalkan perasaan malu yang timbul jika seseorang melanggar aturan atau norma tersebut.Â
Maka itu, tolak ukur dalam budaya malu terletak pada penilaian orang lain dan pemuliaan terhadap kehormatan dan status sosial.Â
Pada shame culture, seseorang cenderung memprioritaskan bagaimana tindakan mereka akan memengaruhi citra dan reputasi mereka dalam masyarakat.Â
Perasaan malu yang timbul dari melanggar norma-norma dapat menjadi pengendali utama perilaku individu. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap aturan sosial menjadi sangat penting dalam shame culture.
Guilt Culture atau budaya kebersalahan merupakan budaya yang didasarkan pada konsep rasa bersalah pribadi dan tanggung jawab individual.Â
Dalam guilt culture, norma dan nilai-nilai masyarakat ditanamkan dengan menitikberatkan pentingnya tiap  individu untuk mengakui kesalahan dan merasa bersalah atas tindakan mereka yang melanggar norma atau aturan.
Dapat disimpulkan bahwa hal yang paling utama dalam guilt culture adalah tanggung jawab pribadi terhadap tindakan mereka sendiri.Â
Individu dipandang memiliki kontrol penuh terhadap tindakan dan perilaku mereka. Mereka merasa bersalah dan bertanggung jawab dengan mengevaluasi diri sendiri jika melanggar norma-norma sosial.
Oleh karena itu, guilt culture menganggap individu mampu memperbaiki tindakan mereka dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kesalahan mereka.
Mana yang Lebih Baik di antara Keduanya?
Budaya malu (shame culture)Â mampu menjaga disiplin sosial dan membuat orang-orang menaati norma-norma yang berlaku karena kemunculan rasa malu dari melanggar norma merupakan pengendali yang kuat untuk mencegah pelanggaran serius yang merusak hubungan sosial.Â
Namun, budaya malu juga dapat memicu tekanan sosial yang berlebihan, kerendahan diri, atau bahkan tindakan-tindakan ekstrem untuk mengembalikan kehormatan yang terasa hilang.Â
Sedangkan guilt culture (budaya kebersalahan) yang lebih mengutamakan tanggung jawab pribadi dapat mengarahkan induvidu pada peningkatan kesadaran dan pemahaman akan konsekuensi dari tindakan masing-masing.Â
Guilt culture membuat seseorang merasa buruk atas pelanggaran yang dilakukan dengan pangkal 'rasa salah' yang mana secara psikologis merupakan alasan yang lebih sehat dibanding didasari 'rasa malu' atau 'lenyapnya kehormatan' yang diterapkan pada shame culture.
Tetapi--jika ditinjau lebih jauh lagi--tak menutup kemungkinan bahwa guilt culture bisa menimbulkan beban emosional yang tinggi kalau rasa bersalah yang dialami memicu self-blame berlebihan.
Lantas, bagaimana kesimpulannya?
Karena sama-sama memiliki dampak positif dan negatif, tidak ada jawaban yang mutlak tentang mana yang lebih baik antara guilt culture dan shame culture. Keduanya adalah aspek budaya yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing tergantung pada konteks dan bagaimana kedua budaya tersebut diimplementasikan dalam masyarakat.
Baik shame culture dan guilt culture haruslah diterapkan beriringan dengan situasi dan kondisi sosial yang mendukung dan saling merangkul satu sama lain sehingga pengaruh positif dari keduanya dapat terimplementasi tapi juga dampak buruk dari masing-masing budaya (terutama terhadap kesehatan mental individu) dapat terminimalisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H