Agenda politik luar negeri yang dijalankan oleh Soeharto tentu berbeda dengan apa yang sebelumnya telah dilakukan oleh Soekarno. Jika politik luar negeri di era Soekarno bersifat high profile untuk mendapat pengakuan dari dunia internasional pasca kemerdekaan, politik luar negeri Soeharto lebih berkesan low profile demi mendapat kepercayaan dari dunia internasional agar mempermudah pertumbuhan dan pembangunan di Indonesia.
Hal yang pertama dilakukan oleh Soeharto adalah menormalisasi hubungan Indonesia dengan negara-negara lain. Sebelumnya pada era Soekarno hubungan Indonesia dengan Malaysia sempat memanas karena negara Malaysia dianggap sebagai negara boneka Inggris yang tidak selaras dengan semangat anti-imperalisme yang digaungkan banyak negara pada waktu itu. Untuk menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia, Indonesia menjalankan dua strategi diplomasi yaitu secret diplomacy dan open diplomacy. Langkah informal pertama dimulai pada 1964, dengan mengadakan pertemuan diam-diam antara Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Malaysia Ghazali Shafe dengan Menteri Panglima Angkatan Darat Indonesia Jenderal Achmad Yani di Hongkong. Pertemuan formal baru terjadi setelah adanya peristiwa Supersemar yang menyebabkan Soeharto memiliki kekuasaan eksekutif pada saat itu. Soeharto mulai memungkinkan pertemuan pembicaraan damai tidak lagi dilakukan secara diam-diam karena legalitas politiknya yang jelas. Hasil dari upaya normalisasi terlihat pada tanggal 11 Agustus 1966 dengan adanya persetujuan normalisasi hubungan RI - Federasi Malaysia yang ditandatangani oleh Menlu RI Adam Malik dan Menteri Pertahanan Malaysia Tun Razak di Ruang Pancasila Departemen Luar Negeri Indonesia
Setelah hubungan Indonesia dengan Malaysia membaik pada pemerintahan Soeharto, Indonesia akhirnya kembali ke PBB setelah sebelumnya keluar pada 20 Januari 1965 menyusul terpilihnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia akhirnya memutuskan untuk kembali menjadi anggota PBB pada 28 September 1966. Keputusan itu juga dilatarbelakangi oleh Jepang yang memberi syarat agar Indonesia masuk kembali menjadi anggota PBB dan menghentikan konfrontasi dengan Malaysia bila ingin menerima bantuan ekonomi.
Selain memperbaiki hubungan dengan Malaysia, Soeharto juga berusaha untuk memperbaiki hubungan Indonesia dengan negara-negara barat dan Jepang. Sebelumnya pada pemerintahan Soekarno arah kebijakan luar negeri Indonesia condong kepada negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan Tiongkok. Hal itu membuat hubungan antara Indonesia dengan negara-negara barat dan juga Jepang menjadi renggang. Demi menunjang pembangunan, Indonesia perlu mendatangi pusat pusat pertumbuhan ekonomi dunia saat itu seperti Amerika Utara, Eropa Barat, dan Kawasan Pasifk terutama Jepang. Negara-negara di ketiga kawasan tersebut memenuhi lima kriteria yang dapat membantu Indonesia keluar dari krisis, yaitu termasuk negara-negara yang dapat mendukung peningkatan ekspor non-migas, meningkatkan arus investasi, memberi pengamanan dalam bantuan pembangunan, mendorong kerja sama teknik, teknologi, dan pengetahuan, serta menjadi sumber arus pariwisata.
Setelah memperbaiki hubungan dengan negara-negara lain, Soeharto dihadapkan pada tugas untuk membangun stabilitas ekonomi di Indonesia. Ekonomi Indonesia di era Soekarno terbilang memprihatinkan. Pada tahun 1965 inflasi mencapai 500%, utang luar negeri 2,36 miliar dollar AS, bunga utang yang mendesak harus dibayar segera mencapai 530 juta dollar AS, dan kurs dollar AS naik dari nilai tukar Rp 8.100,00, yang kemudian menjadi Rp 50.000,00 pada tahun 1966. Untuk mengatasi permasalahan ekonomi tersebut, Presiden Soeharto menunjuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan RI. Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru berusaha menjalankan "diplomasi pembangunan" dan "diplomasi bantuan". Diplomasi pembangunan menekankan kebijakan luar negeri yang menyokong pembangunan-pembangunan di dalam negeri. Diplomasi bantuan menekankan pencarian bantuan kepada negara-negara lain untuk mewujudkan diplomasi pembangunan. Setelah itu untuk menciptakan stabilitas ekonomi, Indonesia menempuh tiga cara, yaitu penjadwalan kembali utang luar negeri, mencari bantuan bagi pembangunan, dan membuka ruang investasi dengan penanaman modal asing.
Setelah mampu keluar dari krisis ekonomi Indonesia mulai membangun hubungan multilateral. Indonesia mulai aktif lagi di forum PBB yang merupakan wadah penting untuk mewujudkan amanat konstitusi. Indonesia turut menjadi pelopor dalam menghasilkan rezim hukum laut internasional baru yang dituangkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Disahkannya konsepsi Republik Indonesia tentang Wawasan Nusantara dan rezim khusus mengenai negara kepulauan juga menjadi terobosan penting dari yang dibuat Indonesia. Selain melalui PBB, Indonesia juga berperan aktif melalui organisasi Gerakan Non-Blok (GNB) peninggalan Soekarno. Dalam organisasi Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia di masa Soeharto menjadi ketua untuk periode 1992-1995. Pada periode ini, Indonesia berhasil memelopori Pesan Jakarta ( Jakarta Message) yang berisi hal-hal penting dan strategis saat itu. Pertama, menghapus keraguan negara anggota mengenai relevansi GNB. GNB berkomitmen untuk menjadikan dirinya sebagai forum dialog kerjasama konstruktif dan bagian yang integral dari hubungan internasional. Kedua, GNB mulai menekankan pada kerjasama ekonomi untuk mengisi kemerdekaan yang telah dicapai negara-negara anggotanya. Ketiga, adanya kesadaran untuk meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan dan percaya dengan potensi yang ada pada masing-masing negara. Indonesia juga menjadi anggota dari Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Asia-Pacifc Economic Cooperation (APEC).
Berbicara mengenai kerajasama multilateral di era Soeharto rasanya ada yang kurang jika tidak membahas mengenai warisan yang diberikan olehnya, yaitu ASEAN. Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan bentuk regionalisme di Asia Tenggara yang berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967. Organisasi ini  bertujuan untuk menggalang kerja sama antarnegara anggota dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas kawasan, serta membentuk kerja sama dalam berbagai bidang kepentingan bersama. Sejak era pemerintahan Soeharto sampai sekarang Indonesia telah menjadikan ASEAN sebagai prioritas utama dalam menjalankan politik luar negerinya. Hal itu bahkan pernah diatur dalam Pelaksanaan Ketetapan MPR dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Adam Malik juga sempat mengatakan bahwa ASEAN adalah soko guru politik luar negeri Indonesia. Menurut penulis sendiri hal itu masih relevan sampai saat ini karena ASEAN merupakan wadah bagi Indonesia untuk melakukan hubungan antar negara di tingkat regional demi mencapai kepentingan nasionalnya dalam bidang politik-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. ASEAN juga mampu memfasilitasi hubungan Indonesia dengan negara lain di luar Asia Tenggara seperti Jepang, China, Korea Selatan, Selandia Baru, dan masih banyak lagi lainnya. Selain itu adanya ASEAN juga mendorong terciptanya kawasan yang aman, stabil, dan damai yang memperlancar pembangunan nasional di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H