Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Solusi Pilkada Paling Fair

2 Oktober 2014   19:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:38 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini bangsa Indonesia sedang menunggu kelanjutan nasib UU Pemilihan Kepala Daerah. Kita melihat sendiri bahwa Partai Demokrat sering bingung harus berpihak ke mana.  Di satu sisi, mereka melihat Koalisi PraHaRa lebih punya kemiripan sebagai sesama derivat Orde Baru. Apalagi, di sana ada besan sang pemimping Demokrat, yang bisa diharapkan sebagai proxy politik di masa depan. Apalagi pula, Demokrat-lah yang mulanya mengusulkan sistem pilkada diubah jadi kembali lewat DPRD.

Tapi, di sisi lain, Demokrat menyadari zeitgeist di masyarakat luas yang berpihak kepada Jokowi dan kepada sistem pilkada langsung. Konstalasi politik PraHaRa memang bisa menang di panggung parlemen, tapi untuk jangka lanjang masyarakat bakal memberi sanksi kepada PraHaRa beserta para pendukungnya di ajang pemilu legislatif berikutnya.

Demokrat pun datang ke sidang dengan membawa agenda yang diharapkan bisa mengamankan posisinya, yaitu usulan pilkada langsung tapi dengan persyaratan yang sangat kaku. Demokrat membayangkan bahwa usulan tersebut pasti ditolak oleh kubu Jokowi, lalu kubu PraHaRa menang, sedangkan Demokrat bisa cuci tangan dari proses perampasan kedaulatan dari tangan rakyat tersebut.

Dugaan ini meleset. Meski menganggap persyaratan Demokrat terlalu kaku, kubu Jokowi siap mendukung penuh. Di atas kertas, kubu Jokowi ditambah Demokrat bakal mampu mempertahankan sistem pilkada langsung lewat voting. Tapi toh, Demokrat tetap bimbang. Tak percaya diri berada di pihak yang akan menang, serta berbagai pertimbangan politis lainnya (misalnya, takut tak kebagian kursi pimpinan dewan dalam sidang berikutnya berdasarkan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang bakal didominasi oleh PraHaRa). Maka, Demokrat mengambil langkah yg tak terduga siapapun, yaitu walk-out saat opsinya sedang di atas angin.

UU Pilkada disahkan, dan rakyat Indonesia pun berduka. Tidak tinggal diam, masyarakat bereaksi lewat protes keras di media sosial. Nama Yudhoyono pun jadi sasaran hujatan kelas dunia. Tentu saja, presiden yang karir politiknya dibangun dengan pencitraan itupun sangat risau. Terbayang partainya akan jadi cercaan selama lima tahun ke depan, lalu jadi gurem dalam pemilu legislatif berikutnya. Terbayang pula dirinya akan dikenang sepanjang masa sebagai politisi--bukan negarawan--yang membuat rakyat kehilangan salah satu bentuk terpenting dari kedaulatannya.

Kini, Yudhoyono konon sedang mempersiapkan perpu untuk menghadang UU Pilkada. Seandainya serius pun,  perpu ini bakal sulit bertahan, mengingat kubu PraHaRa di DPR baru saja mendudukkan sederetan politisi bermasalah jadi pimpinan DPR. Tak satu kursi pimpinan pun tersisa bagi PDI-P yang menang pemilu legislatif lalu. Bisa kita lihat, dari sikap Demokrat yang dalam sidang pemilihan pimpinan DPR tidak memberikan sikap kritis sedikitpun kepada kubu PraHaRa, sulit diharapkan mereka nantinya bakal mau mempertahankan perpu keluaran pemimpinnya ketika perpu tersebut dihadapkan ke sidang DPR kelak.

Sambil menunggu perkembangan, kita simak dulu esensi dari kontroversi UU Pilkada ini. Sebenarnya, masalah ini hanyalah silang pendapat antara sebagian besar rakyat yang ingin tetap berwenang memilih sendiri kepala daerahnya dalam pemungutan suara langsung, versus sebagian lagi yang ingin menitipkan aspirasinya kepada DPR. Sebagai negara demokratis, tentu saja penyelesaian bagi masalah ini adalah lewat demokrasi.

Yang perlu direnungkan, demokrasi sebenarnya bertujuan melayani sebanyak mungkin aspirasi warga. Jika ada suatu solusi yang memungkinkan aspirasi SELURUH warga terpenuhi, maka solusi itu layak diambil meski sifatnya out-of-the-box. Nah, bagi masalah metode pilkada ini, solusi yang saya usulkan adalah sebagai berikut.

Pertama, rakyat yang lebih suka menyerahkan urusan pemilihan kepala daerah kepada DPR silakan mendukung siapapun calon yang disukai oleh mayoritas fraksi di DPRD. Silakan memberikan masukan kepada DPR, silakan membantu mengkampanyekan calon tersebut, dan sebagainya.

Selanjutnya, kita lihat hasilnya dalam suatu pemungutan suara yang melibatkan seluruh warga: apakah sebagian besar warga juga menyukai jago DPRD tersebut, ataukah sebagian besar warga ternyata punya jago sendiri. Jika ternyata pilihan DPRD sejalan dengan pilihan sebagian besar warga, maka congratulation karena anda punya anggota parlemen yang peka aspirasi rakyat.

Tapi, jika jago DPRD ternyata kalah, tak perlu berkecil hati. Anda kan masih punya para wakil di DPRD. Mereka inilah yang akan jadi pengawas yang berkedudukan sejajar dengan kepala daerah. Jika anda mau mempercayai dewan untuk memilihkan calon kepala daerah bagi anda, tentu tak sulit bukan mempercayai dewan untuk mengawasi kepala daerah. Aspirasi kenegaraan anda tetap tersalurkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun