Pemilu 1992 di kompleks perumahan pegawai Petrokimia Gresik. Seluruh warga yang cukup umur diwajibkan ikut. Di antara mereka ada Y—begitu inisialnya—remaja 18 tahun. Entah terpengaruh dari mana, di bilik suara ia mencoblos PDI. Tak ada yang melihatnya, dan ia tidak menceritakannya kepada siapapun.
Beberapa hari kemudian terjadi kehebohan di kompleks tersebut. Ayah Y, seorang pegawai negeri tingkat menengah di Petrokimia Gresik, mendadak dipanggil oleh atasannya. Ia diberi peringatan agar mendidik anaknya, bahwa pegawai negeri beserta keluarganya terikat oleh monoloyalitas kepada Golkar. Tak boleh memilih partai lain.
Bahwa semua pegawai negeri zaman Orde Baru disuruh mencoblos Golkar, sepertinya tak ada yg tidak tahu. Tapi, dalam kasus tersebut, muncul pertanyaan tentang bagaimana para pejabat BUMN tersebut bisa tahu siapa yang mencoblos selain Golkar. Padahal asas pemilu kan langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER)—meski asas bebasnya jelas omong-kosong.
Hingga sekarang, pertanyaan itu tak pernah terjawab. Sempat muncul sejumlah spekulasi, misalnya kotak pengumpulannya dimodifikasi, hingga kertas suara pasti menumpuk secara rapi dan berurutan di dalamnya. Jika ada salah satu kertas “bermasalah”, tinggal dirunut berdasarkan catatan urutan pengumpulan kertas. Pelaku pun jadi ketahuan.
Begitulah zaman Orde Baru..
Selama lebih dari tiga dekade, rejim Soeharto membelenggu segala sendi kehidupan rakyat. Pemilu—hak demokrasi yang paling mendasar—selalu dicurangi. Barangsiapa mempertanyakan dwifungsi ABRI, atau menggunjing tentang korupsi anak-anak Soeharto, bakal diciduk Babinsa untuk dibawa ke Koramil, dengan alasan membahayakan stabilitas negara.
Angkatan Darat diubah jadi alat rejim, diberi keistimewaan menduduki jabatan kepala daerah, pemimpin perusahaan milik negara, rektor kampus strategis, dan lain-lain. Korupsi diperbolehkan, asalkan selalu menyetor ke atas, dan tidak boleh ketahuan masyarakat luas. Sedangkan tugas utamanya bukanlah menghadapi ancaman negara lain, melainkan mengawasi rakyat sendiri hingga ke tiap pelosok dusun.
Riwayat rejim Soeharto berakhir secara buruk. Akibat korupsi selama puluhan tahun, pemerintah kesulitan membayar ketika hutang negara jatuh tempo. Krisis ekonomi pun terjadi, yang diikuti tuntutan turunnya sang tiran. Rejim menanggapinya dengan merekayasa kerusuhan Mei 1998, dengan tujuan menciptakan alasan memberlakukan darurat militer. Untungnya, para mahasiswa demonstran dipandu oleh para dosen mereka yang cerdas, berhasil menghindar dari muslihat tersebut.
Soeharto pun terpaksa berhenti. Tapi, masalah belum berakhir di situ. Para antek Soeharto menghasut lalu bekerja sama dengan para bigot, untuk menggagalkan agenda reformasi. Dari situlah, muncul gerakan-gerakan radikal keagamaan yang menyusahkan bangsa dan negara kita hingga hari ini.
Kini, nyaris dua dekade berselang sejak tiran Soeharto dijatuhkan. Para antek Soeharto masih saja bergerilya mencari kesempatan untuk membangkitkan kembali Orde Baru, mengulang zaman di mana mereka berkuasa dan leluasa menjarah. Sayangnya, ada saja orang Indonesia yang terpengaruh, jadi ikut merindukan era Soeharto.
Ada tiga tipe orang yang tidak memusuhi Soeharto. Pertama, orang-orang yang tidak mengerti betapa buruknya rejim Soeharto. Untuk mereka ini, kita perlu memberikan pengertian. Kedua, orang-orang yang masih takut kepada rejim Soeharto. Mereka mengira di zaman sekarang, berkomentar negatif tentang Orde Baru bakal ditangkap intel tentara, KTP-nya dicap organisasi terlarang, susah cari kerjaan, dan semacamnya. Untuk mereka ini, kita perlu memberikan keberanian.