Ada dua ulama ber-khotbah tentang jihad di lokasi yang berbeda. Ulama yang pertama penuh senyum meneduhkan, menjelaskan bahwa jihad artinya berusaha sekuat tenaga. Ketika yang pelajar belajar dengan tekun, yang pegawai bekerja dengan giat, itu namanya jihad. Dan jihad yang paling besar, ia menambahkan, adalah jihad melawan hawa nafsu diri sendiri.
Ulama satunya berapi-api, penuh kemarahan. Makna jihad yang sesungguhnya disembunyikan, ia berseru, agar umat muslim melemah. Jihad artinya hanya satu, yaitu perang. Membunuh kafir atau mati syahid. Jangan dibelokkan. Hanya dengan jihad, umat muslim akan ditakuti. Bahkan, ada yang namanya jihadun thalab, menyerang kaum kafir yang tidak memerangi kita duluan, yang wajib kita jalankan minimal setahun sekali, hingga seluruh muka bumi dikuasai oleh al-Islam.
Bagi anggota BNPT yang non-Islam, bagaimana menyikapi kedua tafsir yang berbeda tersebut? Apakah ia harus netral sebagai orang di luar Islam? Tentu tidak. Sesuai profesinya, ia harus berpihak kepada salah satu tafsir, yang sesuai dengan konstitusi negara. Ia wajib mendukung tafsir yang pertama, serta memerangi tafsir yang kedua.
--------
Begitu pula dengan Ahok kemarin.
Sebagai kepala daerah, Ahok menghadapi tafsir yang bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Tafsir tersebut menghasut masyarakat agar memperlakukan warga secara berbeda, hanya karena perbedaan agama. Warga yang berbeda agama, menurut tafsir tersebut, harus dihalangi haknya untuk jadi pemimpin.
Dalam situasi seperti ini, sangat wajar jika Ahok memilih untuk berpihak. Bahkan, sesuai jabatannya yang disumpah untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan golongan, Ahok menjalankan kewajiban profesinya. Tak heran, cukup banyak orang Islam membela sikap Ahok tersebut.
Jadi, kepada polisi dan aparat penegak hukum yang dilapori tentang sikap Ahok, ingatlah bahwa anda telah mengambil sumpah yang serupa dengan Ahok dan anggota BNPT non-Islam yang saya ceritakan di atas. Jika anda sampai mengutamakan kepentingan golongan yang memprotes Ahok tersebut, maka anda harus mempertanyakan kelayakan anda mengenakan seragam yang sedang anda sandang.
--------
Sekarang bayangkan, seandainya Ahok tak pernah ada, dan PDI-P mengajukan Risma sebagai calon gubernur Jakarta. Hal serupa sepertinya akan terjadi, dengan tema agak berbeda. Para lawan politik PDI-P bakal mengerahkan ulama untuk menyatakan bahwa “haram memilih perempuan sebagai pemimpin”. Barangsiapa menentang fatwa tersebut, bakal dihujat, dilaporkan polisi dengan tuduhan pelecehan terhadap agama, bahkan terancam dibunuh.
Ketika agama dibawa-bawa ke politik, tujuannya hanyalah untuk menang. Bukan untuk perdamaian, bukan pula untuk akal sehat yang konsisten. Ketika seorang pejabat sedang terjerat kasus, maka ulama yang dekat dengannya tidak akan menyebutnya sebagai azab, melainkan cobaan.