Pilpres 2014 merupakan salah satu pengalaman paling berkesan bagi diri saya. Ketika itu, semangat juang saya tinggi sekali, dimotivasi kekuatiran terhadap nasib bangsa jika kursi presiden sampai jatuh ke pihak yang salah. Polarisasinya cukup jelas. Di pihak Jokowi, ada tokoh-tokoh sekaliber Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Ahmad Syafii Maarif, dan Addie MS. Sedangkan di pihak Prabowo isinya orang-orang bermasalah macam Aburizal Bakrie, Kivlan Zen, Ahmad Dhani, PKS, dan FPI. Tentu saja, I stood on the right side..
Ketika proses awal pilpres Jakarta bergulir, saya merasakan semangat serupa. Ahok menggantikan Jokowi menduduki kursi gubernur DKI Jakarta. Pihak penentangnya pun bermunculan. Mulai dari Haji Lulung, gerombolan  macam FPI, para politisi yang mendukung dihapuskannya pemilu langsung, kalangan tertentu yang berambisi mencampurkan agama ke dalam politik (misalnya lewat agitasi anti-pemimpin non-Islam), serta elemen dalam PDI-P yang terindikasi oligarkis.
Pemihakan Ahok kepada Bhinneka Tunggal Ika mendorong saya mendukungnya, meski saya bukan warga Jakarta. Ahok komit bahwa pejabat pemerintahan dan kepala sekolah negeri tak harus beragama Islam. Ahok melarang sekolah negeri mewajibkan jilbab, menggantinya dengan pakaian daerah yang lebih mengindonesia. Dan ruang gerak FPI dipersulit. Keterbukaan Ahok tentang keuangan yang dikelolanya, serta ketegasan Ahok menindak pegawai negeri yang kurang melayani warga, jadi nilai plus tambahan.
Selama berbulan-bulan, saya jadi sibuk mendukung Ahok. Misalnya, menyemangati para kenalan saya di Jakarta untuk menyetorkan KTP. Atau menyebarluaskan fakta tentang pemihakan Ahok kepada Bhinneka Tunggal Ika. Atau mengekspos manuver PKS yang hendak menjerumuskan PDI-P dan Risma untuk menantang Ahok. Semua itu berbuah manis dengan diusungnya Ahok dan Jarot oleh PDI-P seminggu lalu.
Berikutnya, saya bersiap-siap menghadapi siapapun yang akan menantang Ahok. Saya tadinya membayangkan akan mirip dengan pilpres. Lawan akan memilih satu jago dari kalangan mereka sendiri, yang akan mengusung segenap agenda politik dari kelompok-kelompok di sana. Tapi, kali ini dugaan saya keliru. Kubu Gerindra dan PKS memajukan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Sedangkan kubu Partai Demokrat memajukan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni.
Saya sudah lama menduga Agus Yudhoyono suatu saat akan (disuruh) terjun ke dunia politik, sebagaimana pamannya, Pramono Edhie Wibowo. Tapi, saya tak mengira secepat ini. Agus kan masih mayor, yang berarti karier militernya yang cemerlang akan terhenti di pangkat melati satu.
Dalam militer Indonesia, ada tradisi bahwa purnawirawan yang maju jadi calon bupati/walikota berpangkat kolonel. Sedangkan yang jadi calon gubernur berpangkat mayjen. Agus masih perlu naik pangkat dua kali lagi untuk pantas jadi calon bupati Pacitan. Penerabasan tradisi ini bakal membuat Agus sulit berharap dukungan dari keluarga tentara, padahal kalangan inilah yang pasti ia andalkan.
Sylviana Murni lebih sulit diharapkan lagi. Di kalangan birokrat, namanya tenggelam oleh Ahok. Jika warga Jakarta yang mengantre di kantor pemerintahan ditanya siapa yang berjasa membuat layanan bagi mereka jadi jauh lebih baik, pasti jawabannya Ahok, bukan Sylviana.
Agus juga tak bisa berharap dukungan dari kalangan pro-syariat. Ibunya (Ani Yudhoyono) dan istrinya (Annisa Pohan) tidak berjilbab. Kalangan pro-syariat juga menganggap majunya pasangan Agus-Sylviana hanya akan memecah-belah kubu anti-Ahok. Bagi Partai Demokrat sendiri, pencalonan mereka bukanlah diutamakan untuk mengejar kemenangan, melainkan sesuai dengan sifat Partai Demokrat yang ingin mencari aman di mata masyarakat luas.
Di satu sisi, mereka tak mau dianggap pendukung Ahok, karena kuatir semakin terpuruk seandainya Ahok kalah. Di sisi lain, mereka juga tak mau dikucilkan oleh masyarakat pendukung pemerintah jika nantinya kubu Gerindra dan PKS yang kalah. Kalkulasi serupa dengan sikap Partai Demokrat dalam konflik antara kubu pro-pilkada langsung vs kubu pro-pilkada lewat DPRD dua tahun silam.
Berikutnya tentang kubu satunya lagi. Terus terang, saya takkan risau seandainya Ahok dikalahkan oleh Anies Baswedan. Mantan Menteri Pendidikan yang satu ini adalah anak didik Nurcholis Majid—Bapak Sekularisme Indonesia—sekaligus pemimpin lembaga sekuler Paramadina. Mudah dibayangkan Anies akan meneruskan kebijakan Ahok yg pro-Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan, sangat mungkin Anies akan menerapkan eksperimennya yang tertunda ketika jadi menteri, yaitu menyarankan tradisi doa awal pelajaran yang lebih netral agama, menyebut Tuhan Yang Maha Esa sesuai istilah dalam dasar negara.