Melanjutkan artikel saya sebelumnya..
Sebagaimana saya duga, Partai Demokrat jeblok dalam pemilu legislatif barusan. Penyebabnya sangat jelas, yaitu tidak diumumkannya pemenang Konvensi Demokrat sebelum hari pencoblosan. Para pendukung Dahlan Iskan, peserta terkuat dalam konvensi, jadi ragu untuk mencoblos Demokrat. Ini gara-gara "sang nyonya" penguasa partai biru yang tak mau Dahlan dimajukan Demokrat, karena ia lebih menjagokan adik kandungnya sendiri.
Nasib kelanjutan konvensi pun jadi tidak jelas. Nyaris mustahil konvensi melahirkan calon presiden, mengingat hasil perolehan suara Demokrat. Sebenarnya situasi ini menguntungkan bagi Dahlan. Ia jadi leluasa untuk mengambil langkah sendiri. Dan yang paling logis adalah menawarkan diri sebagai wakil presiden bagi Jokowi.
Pertimbangan pertama, duet Jokowi-Dahlan di atas kertas takkan tertandingi kandidat manapun. Kedua, Dahlan yang rindu keleluasaan berkiprah akan mendapatkan hal tersebut dari Jokowi, yang terbukti mau membiarkan Ahok bebas beraksi. Ketiga, bagi Jokowi, Dahlan merupakan sosok yang minim ambisi politik kepartaian.
Bagaimana dengan Demokrat? Yang jelas, jika melangkah mendekati Jokowi, Dahlan akan mengusung gerbong pendukungnya sendiri (yang notabe bukan kader Demokrat), yang selama konvensi tampak sangat mencolok. Jokowi pasti menolak jika ada kader Demokrat minta jatah kursi menteri. Jadi, pilihan Demokrat adalah berada di belakang Dahlan sambil menahan diri dari ambisi jabatan, atau sekalian berpisah dengan Dahlan.
Jika duet "dwitunggal" Jokowi-Dahlan benar-benar terwujud, siapa saja kira-kira yang akan mereka hadapi dalam pemilihan presiden? Skenario paling seru sih munculnya duet Prabowo-Aburizal Bakrie dan duet Ahmad Heryawan-Rhoma Irama.
Kenapa Prabowo-Ical? Bukankah Golkar yang dipimpin Ical dapat suara lebih banyak ketimbang Gerindra-nya Prabowo? Itu karena Prabowo lebih punya ambisi untuk jadi presiden. Dalam berbagai survey, jelas elektabilitas Prabowo lebih tinggi ketimbang Ical. Sedangkan niat Ical sebenarnya cuma melindungi Bakrie Grup. Asal Prabowo berjanji melindungi perusahaannya itu--termasuk tentang tuntutan ganti rugi lumpur Lapindo--Ical mau jadi cawapres. Sebagai kompensasi tambahan, bakal banyak kader Golkar masuk kabinet.
Lalu, kenapa Aher-Rhoma? Suara PKB memang lebih besar ketimbang PKS. Tapi, PKB kurang lincah merajut koalisi partai2 Islam. Kemarin KH Said Aqil Siradj menolak usul koalisi, yang berarti secara struktural NU takkan mendukung PKB membentuk atau memimpin koalisi tersebut. Sedangkan PPP, yang ranking-nya juga di atas PKS, malah sedang sibuk dengan perpecahan internal. PKS--dengan mulut manis (yang pernah memikat Yudhoyono) dan taktik gerilya politiknya--akan muncul sebagai pemimpin koalisi.
Aher akan dipilih sebagai capres, karena PKS tak punya waktu lagi untuk konsolidasi ulang jika sampai perlu menunjuk pemimpin partai yang baru. Aher bukanlah calon yang sangat populer ataupun berprestasi, tapi ia punya modus operandi ampuh memenangkan pemilihan jika didampingi oleh selebriti. Kita tentu masih ingat bagaimana ia mendompleng popularitas Dede Yusuf, yang lalu disisihkan di tengah masa jabatan. Kemudian beralih ke aktor gaek nan lugu politik Deddy Mizwar. Mudah dibayangkan Rhoma akan jadi korban selanjutnya. Rhoma pasti tergiur membayangkan dirinya akan menyanyi sambil bergitar di istana wapres.
Begitulah, pilpres mendatang akan sangat seru jika diikuti oleh Jokowi-Dahlan, Prabowo-Ical, dan Aher-Rhoma. Para pembaca tentu mudah menerka duet mana yang saya jagokan..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H