Saya memiliki dua orang ayah, ayah kaya dan ayah miskin, ayah kaya saya pernah berkata
“Saya sewaktu kecil, miskin. Saya memastikan anak-anak saya mendapatkan yang terbaik, termahal.”
“Sewaktu kecil, saya makan saja susah. Saya pastikan mereka itu sekarang makan enak.” “Waktu kecil, saya belajar ditemani lilin dan 2 buku. Sekarang anak saya, saya sekolahkan ke Inggris.”
Kita mengalami hal terburuk dan oleh karenanya kita cenderung memberi terbaik. Pertanyaannya adalah, apakah yang terbaik, adalah yang anak kita butuhkan?
Orang sukses itu menjadi sukses karena
(1) dididik dengan benar, terlepas dari dari apakah dia kaya atau miskin
(2) dididik oleh kesulitan yang dia hadapi.
Kita mengakui ada anak orang kaya yang tetap menjadi terbaik karena sikap dan perjuangannya. Tapi kita lihat kebanyakan orang sukses juga dulunya hidup sulit. Kesulitan (dalam beberapa kasus, kemiskinan) itu yang menjadi pemacu orang-orang untuk menjadi sukses. Ini adalah resep yang nyata. Kesulitan yang orang-orang sukses ini hadapi adalah ladang ujian di mana mereka menempa diri mereka menjadi orang sukses. Pertanyaannya, jika kita ingin mencetak anak-anak yang bermental baja, kenapa kita justru memberikan semua kemudahan? Kenapa justru kita hilangkan semua kesulitan itu? Karena dengan menghilangkan kesulitan-kesulitan itu, justru kita menciptakan generasi yang syarat hidupnya banyak.
Generasi Berikutnya Apa yang terjadi dengan dari hasil cara pandang ‘dulu saya susah, saya tidak ingin anak saya susah’? Ini yang terjadi: Anak dari teman ibu saya terbiasa makan beras impor thailand. Di 98, kita terkena krisis dan orang tuanya tidak lagi mampu membeli beras impor. Yang terjadi adalah, anaknya tidak bisa makan. Ada anak dari teman yang terbiasa makan es krim haagen dasz, ketika pertama kali makan es krim lokal, dia muntah. Ada cucu yang ngamuk di rumah neneknya karena di rumah nenek,tidak ada air panas. Saya tidak mencibir mereka. Apa adanya seorang manusia itu terjadi dari alam dan didikan. Semua ini, adalah didikan.
Bahkan di kantor pun sama.
Di kantor kebetulan saya menjadi mentor seseorang (saat ini). Dalam sebuah kesempatan, dia pernah berkata “Duh, tidak nyaman di posisi ini.” Di lain kesempatan, “Sayang ya, si X resign, padahal dia membuat saya nyaman di kantor sini.” Pada kali kedua saya mendengar anak mentor saya berkata ini, saya mulai masuk percakapan “Kamu sadarkah, kamu sudah 2 kali menggarisbawahi bahwa kenyamanan dalam kerja itu, penting bagi kamu.” “…” “Memang benar seharusnya nyaman. Tapi sayangnya, inilah hidup. Kita tidak dapat untuk memilih situasi yang seharusnya. Kadang kita butuh untuk duduk dengan apa yang kita miliki dan berurusan dengannya. Tentang kenyamanan, cobalah untuk menjadikan itu sebagai sesuatu yang ‘manis untuk dimiliki’ dan bukan ‘harus dimiliki’.”
Apa yang harus di lakukan?
Saya menyukai cara Sultan Jogja mendidik anak-anaknya. Saya pernah mendengar bahwa di saat batita, anak sultan dikirim untuk hidup di desa. Makan susah, main tanah, mandi di sumur. Intinya, meskipun dia adalah anak sultan, dia tidak tahu bahwa dia anak sultan dan dia merasakan standar hidup yang rendah – dan merasa cukup dengan itu. Setelah agak besar, dia kembali ke istana. Dampaknya, semua Sultan, bersikap merakyat. Dia makan steak, tapi dia tahu bahwa steak yang dia makan adalah sebuah kemewahan. Bukan sebuah syarat hidup minimum.
Saya juga memiliki syarat-syarat hidup. Semenjak menjadi seorang bapak, saya berubah total dan mengikis hilang itu semua. Karena saya tidak ingin anak-anak saya memiliki syarat hidup yang banyak. Dan satu-satunya cara memastikan itu terjadi adalah bahwa saya pun tidak boleh memiliki syarat hidup banyak.
Saya mengajak mereka naik kopaja atau transjakarta setiap hari ke sekolah, sebelum mereka merasakan bahwa naik angkutan umum itu rendah. Saya membiarkan mereka tidur di lantai. Siapa tahu suatu saat nanti mereka harus terus-menerus. saya mematikan AC saat mereka tidur – siapa tahu mereka suatu saat tidak mampu membayar AC. Saya tidak memasang air panas karena ingin anak-anak baik-baik saja jika suatu saat nanti mereka tiap hari harus mandi air dingin. Saya melarang mereka bermain tablet karena ingin mereka tidak tergantung dengan kemewahan itu. Saya melarang mereka menilai teman dari merk mobil mereka karena merk mobil itu tidak pernah penting, dan tidak akan penting. Kita pergi ke mall memakai kopaja. Dan kita bersenang senang tertawa tawa seperti jutaan orang lain. Saya tidak membuang nasi kemarin yang memang masih bagus. Namun saya memakannya dengan anak-anak. Siapa tahu suatu saat, ini adalah yang mampu kami tanggung. Agak keras. Dan kami menyukainya. Kami mengajarkan mereka untuk mengejar kebahagiaan sehingga mereka dapat belajar nilai dan tujuan dari suatu hal. Bukan harga dari suatu hal. Nasi kemarin yang masih baik aman untuk dimakan, masih bernilai. Kopaja dan mercy memiliki tujuan yang sama, yaitu mengantar kita ke sebuah tempat. AC atau tidak memberikan nilai yang sama. Sebuah ucapan selamat tidur.
Mengapa semua ini penting?
Potensi adalah kemampuan yang belum terwujud, atau kekuatan yang masih terpendam, kapasitas yang belum dipakai, keberhasilan yang belum dinyatakan. Potensi adalah semua yang bisa saya lakukan tetapi belum saya lakukan atau belum saya capai. Potensi bicara soal suatu kemungkinan, sesuatu yang sangat luas. Dalam satu biji (buah apel) yang saya pegang itu tersimpan banyaknya pohon dan buah yang dihasilkan oleh satu biji yang kita pegang tersebut.
Hal ini mengingatkan saya agar tidak menganggap remeh apa yang kecil. Hal ini bisa berdampak negatif atau positif. Sebuah gosip yang saya anggap remeh, kalau jatuh di tempat yang tepat dapat membuat orang sakit hati atau hancur. Mimpi atau visi atau cita-cita menunjukkan potensi apa yang ada dalam diri seeseorang. Masa depan seseorang (benih) ada di dalam benih itu sendiri. Di dalam benih ada pohon, ada buah, ada benih, ada pohon, dan demikian seterusnya. Berarti masa depan pohon itu ada di dalam benih. Masa depan saya ada terjebak di dalam saya. Sama seperti masa depan benih itu ada di dalam benih itu sendiri. Apakah saya bisa keluarkan masa depan itu. Sebab ada orang yang sampai meninggal tidak pernah bisa jadi! Meninggal dalam keadaan "penuh".