Mohon tunggu...
Rifki Radifan
Rifki Radifan Mohon Tunggu... -

Hanya sebatas pencinta sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kisah Anak SD di Pinggir Jalan

24 September 2014   23:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:39 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Terbesit rasa iba ketika melihat anak-anak sekolah dasar sedang menggedong tas yang berukuran besar yang terisi penuh oleh berbagai macam buku. Keluguan yang membuat mereka dapat bercanda lepas satu sama lain tanpa memikirian takdir apa yang mereka hadapi di masa depan kelak. Di pinggir jalan raya yang dipenuhi angkutan umum yang sedang mencari penumpang dan ditumbuhi pohon-pohon besar mereka saling mengejar satu sama lain sambil menggendong tas yang berat itu. Terpikir bahwa, apakah perlu anak semuda itu membawa tas yang berisi berbagai jenis buku yang belum tentu mereka sukai. Apakah salah ketika dibenak mereka hanya permainan apa yang nanti akan dimainkan ketika pulang sekolah, bukan memikirkan macam-macam pengetahuan yang belum mereka pahami.

Harus diamini bahwa kekayaan terbesar yang dimiliki Indonesia adalah sumber daya manusianya. Karena Indonesia adalah negara dengan penduduk terbanyak no 4 di dunia, penting untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada masyrakatnya. Tetapi ketika sumber daya tersebut tidak dimaksimalkan oleh pemerintah kita, disisa-siakanlah sebuah potensi besar. Dengan munculnya berbagai kemajuan-kemajuan teknologi hasil dari buah pikir manusia diberbagai negara lain membuat rasa penasaran muncul, kenapa dengan masyarakat sebanyak ini belum memunculkan seseorang seperti Bill Gates, Steve Jobs atau Mark Zuckerberg.

Masalah-masalah pendidikan terus bermunculan dengan judul yang itu-itu saja seperti kurikulum baru, pro-kontra Ujian Nasional (UN), fasilitas pendukung, dll. Ironis melihat amunisi terbaik di negara dengan jumlah populasi yang besar adalah pendidikan malah memunculkan rasa pesimistis dari masyarakatnya. Ada yang salah ketika ada korban berjatuhan hanya untuk sebuah ujian yang belum tentu menentukan kesuksesan mereka di masa depan. Ada yang salah ketika orang-orang (yang merasa) penting di negeri ini lebih memikirkan berapa jumlah anak yang tidak lulus sekolah dibandingkan memikirkan berapa jumlah anak yang putus sekolah. Belum lagi sistem UN yang membuat anak menjadi tertekan malah berpengaruh negatif terhadap mental anak tersebut, dan untuk keluar dari tekanan tersebut mereka akhirnya menghalalkan segala cara.

Belajar dari apa yang sudah dilakukan di negara Finlandia, salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, kita akan disuguhkan dengan sistem yang benar-benar berlawanan dengan negara ini. Mereka tidak mencari sistem pendidikan yang terbaik, tetapi mereka mencari sistem yang dinilai cocok bagi anak-anak di negara mereka. Di Finlandia anak-anak memulai sekolah diumur 7 tahun. Bandingkan dengan orang tua Indonesia malah memaksakan anaknya masuk sekolah sedini mungkin, mereka tidak sadar bahwa mereka sedang mempertaruhkan masa depan anaknya ketika memaksakan masuk sekolah. Di Finlandia mereka yang ingin menjadi guru harus lulusan terbaik dari setiap universitas, dan persentase lulusan dari Strata-2 (S2) lebih banyak diterima.

Harusnya kita lebih memperhatikan pendidikan karena ini yang akan membuat kita dapat bersaing dengan negara-negara lain. Dan pendidikan tak sertamerta selalu di dalam kelas sekolah atau kampus saja. Kita jangan melupakan bahwa setiap orang memiliki bakat mereka masing-masing yang tentu saja berbeda setiap individunya. Jangan membiarkan anak-anak yang mempunyai bakat melukis, olahraga, menulis atau musik dibiarkan bakatnya menguap begitu saja. Masyarakat Indonesia masih banyak yang pesimistis dengan kehidupan selain menjadi pegawai yang duduk dikursi mereka yang nyaman. Pemerintah Indonesia harusnya jangan tinggal diam dengan mind set seperti ini, karena negara yang maju minimal harus memiliki wirausahawan sebanyak 2 %, sedangkan kita hanya mencapai pada 1,5 %. Bandingkan dengan Singapura yang sudah 11 % dan Thailand ataupun Filipina yang sudah 4%. Bayangkan kalau kita hanyak fokus di pendidikan formal dan hanya menjadi pegawai-pegawai di perusahaan asing, mungkin ini bisa disebut kembali ke masa penjajahan dalam versi abad 21.

Kembali kepada anak-anak yang sedang bercanda di pinggir jalan tadi, terlintas dipikiran ingin memastikan apakah mereka mendapat pendidikan yang cocok bagi mereka. Apakah bakat mereka tersalurkan dengan baik sehingga dapat mengimbangi tekanan yang mereka terima dari sistem pendidikan di negeri ini. Apakah guru mereka sadar bahwa bakat yang dimiliki anak-anak Indonesia itu berbeda-beda sehingga tidak ada unsur pemaksaan dan penyamarataan cara mengajar karena potensi mereka berbeda. Hanya bisa berdoa yang terbaik bagi anak-anak yang sekarang hendak menaiki angkutan umum usai berlari-lari bercanda dengan temanya tadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun