Hiruk pikuk menjelang perhelatan demokrasi jelang pemilu 2019 sudah semakin meriah. Adu isu dan opini antar kontestan pemilu terkait pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif mewarnai pemberitaan media. Pertarungan kemudian terkadang bergeser ke tema-tema yang bersifat personal dan masuk keruang yang justru tidak substantif.
Yang menarik untuk dicermati dalam setiap momentum pemilu sebenarnya adalah tentang isu kecurangan. Bagi pihak yang berada dikutub oposisi, kecurigaan terhadap adanya praktik kecurangan tetaplah menjadi perhatian utama mengingat mereka tidak berada dalam posisi yang memiliki kendali organisatoris kepada institusi-institusi negara, yang dalam thesis kecurangan pemilu 'tetap dapat dikendalikan' untuk kepentingan petahana.
Bagaimana sebenarnya kecurangan pemilu dapat terjadi, dengan modus seperti apa kecurangan dapat dipraktikan, hal tersebut yang harus dibongkar demi terhindarnya pemilu dari kemerosotan kualitasnya. Membuka dan membongkar modus kecurangan pemilu adalah salahsatu ikhtiar kita yang paling penting bagi masa depan bangsa dan negara.
Lebih dari setahun lalu, banyak pihak telah mengingatkan pemerintah terkait adanya dugaan KTP ganda, palsu dan termasuk juga dugaan adanya NIK yang dimanipulasi. Hal tersebut memang telah pula berulang kali dibantah oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, yang mengatakan bahwa dugaan-dugaan tersebut tidak mendasar dan tidak memiliki bukti yang sahih.
Uniknya, justru seiring waktu, bukti-bukti ditemukannya puluhan atau mungkin ratusan KTP di banyak tempat malah secara telanjang diketahui publik. Walaupun sekali lagi dibantah bahwa keberadaan KTP yang dianggap 'reject' tersebut memiliki keterkaitan dengan pemilih di pemilu 2019, tuduhan-tuduhan mengarah kesana muncul pula. Lalu, bagaimana sebenarnya kaitan keberadaan KTP tanpa pemilik tersebut dengan kecurangan pemilu?
Baiklah, mari kita cermati satu demi satu.
Modus Memompa Jumlah Pemilih
Jika kita pahami baik-baik maka dapat dipastikan bahwa salahsatu modus melakukan kecurangan pemilih yang paling klasik adalah memompa jumlah pemilih. Ini berarti merekayasa pemilih fiktif, yang tentu saja akan membengkakkan jumlah pemilih dari jumlah sebenarnya. Untuk melakukannya, maka secara sistemik juga harus diciptakan identitas para pemilih fiktif tersebut. Dari situlah akhirnya kita mahfum mengapa banyak pihak merisaukan temuan KTP-KTP tak bertuan di mana-mana belakangan ini. Bila modus memompa jumlah pemilih (dengan merekayasa pemilih dengan identitas fiktif) telah berhasil dilakukan, maka pertanyaan selanjutnya adalah lewat TPS yang mana pemilih fiktif tersebut akan memuarakan 'suara pilihannya'?
Secara praksis, pemilih fiktif teramat sulit dimasukkan sebagai pemilih di TPS-TPS resmi yang faktual, mengingat jika jumlah pemilih per TPS saat ini berjumlah antara 200-300 pemilih saja, dan dapat dipastikan antar pemilih akan amat saling mengenal satu sama lain karena berasal dari lingkungan tempat tinggal yang sama, maka memasukkan nama pemilih asing ke TPS tersebut akan beresiko diketahui oleh pemilih resmi yang ada.
Modus langkah berikutnya tentulah akan muncul TPS-TPS fiktif, yang keberadaannya tidak diketahui. Ditempat pemilihan fiktif inilah, suara pemilih fiktif akan dieksekusi. Tentunya semua perangkatnyapun fiktif. Tidak ada petugas KPPS, saksi dan lainnya. Langkah berikutnya adalah, bagaimana suara tersebut bisa ditabulasi kedalam perhitungan perangkat penyelenggara pemilihan?
Pertama, dengan mengadakan 'kertas suara palsu' yang tentunya sudah direkayasa untuk memilih calon tertentu. Jadi rentetan akhirnya adalah pemilih fiktif, memilih di TPS fiktif, menggunakan kertas suara palsu.