Menjadikan rakyatnya hidup nyaman dan aman adalah tugas negara untuk melaksanakannya. Kenyamanan ini menjadi tolok ukur untuk bisa melihat bangsanya sejahtera atau tidak. Dalam berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, hendaknya negara yang dalam hal ini adalah pemerintahan membuat suatu solusi agar rakyatnya merasakan kenyamanan tersebut. Trotoar salah satunya. Dalam data yang diambil olehTirto.id menyatakan bahwa 90% trotoar di negara ini tidak layak untuk penjalan kaki. Pertanyaan terlintas, mengapa fasilitas penting ini tidak menjadi fokus utama pemerintah agar masyarakatnya bisa hidup lebih nyaman?
Beberapa waktu yang lalu, saya mengamati bagaimana trotoar itu benar-benar beralih fungsi menjadi lahan yang tidak khusus untuk pejalan kaki, seperti contohnya trotoar yang berada di jalan Babarsari seberang J-Walk. Trotoar juga menjadi lahan untuk pedagang kaki lima meraup keuntungan dengan merampas hak pejalan kaki, celakanya lagi, trotoar dijadikan lahan parkir taksi dan beberapa pengendara motor. Melihat kejadian ini merenggut simpati saya untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Jika masyarakat sudah tidak mau untuk berjalan kaki, transportasi umum adalah jalan keluarnya, namun bisa kita amati bagaimana kondisi transportasi umum kita, selain kenyamanan dan keamanan yang tidak ada, rute kendaraan umum juga sedikit, atau bahkan tidak sampai hingga masuk ke pedalaman, banyak bahkan dalam hal keamanan, masyarakat mengalami banyak kejadian seperti pencopetan, pelecehan seksual, dan masih banyak lagi, hal ini yang semakin memperumit masyarakat untuk bisa merasakan kenyamanan dan keamanan di negeri sendiri.Â
Melihat polemik ini akhirnya jalan keluar satu-satunya adalah membeli kendaraan pribadi. Jika seluruh masyarakat yang tidak mau jalan kaki ini membeli kendaraan pribadi, yang terjadi adalah membludaknya alat transportasi di negara ini, dan menyebabkan polusi serta kemacetan yang tak terbayangkan padatnya.
Membicarakan trotoar jalan sebagai fasilitas publik ini sebenarnya sangat luas cakupannya, ada banyak faktor yang mempengaruhi permasalahan ini muncul, dalam penjabarannya dibagi menjadi 3 lapis, pertama hukum yang melindungi hak pejalan kaki, kedua aparat penegaknya, dan ketiga adalah publik yang dalam hal ini adalah masyarakat pengguna kendaraan bermotor, penyandang disabilitas, selain itu juga PKL yang merenggut hak-hak pejalan kaki. Dalam membicarakan hukum yang melindungi pejalan kaki, mbak Wiji angkat bicaraÂ
"budaya lalu lintas yang manusiawi itu belum ada sampai hari ini, kalau diliat kemudian akarnya, bisa jadi karna penegakkan hukum, hukumnya sudah bagus, dengan lalu lintas segala macam itu, bicara akses juga sudah ada ratifikasi CRPD, tapikan tidak ada penegakkan hukumnya."
Sebenarnya, hukum ini sudah ada dan tertera pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, namun kurang dalam melaksanakannya, jika penegak hukum tidak melaksanakan tugasnya, maka budaya buruk ini akan terus berjalan. Selain itu, pemerintah juga harus fokus selain dalam infrastrukur, juga dalam fasilitas publik yang sangat penting ini.