Perkembangan politik, perkembangan ekonomi, bahkan perkembangan sepakbola di area Indonesia dan Malaysia seakan tidak akan luput dari perhatian masyarakat Indonesia. Apalagi di era keemasan saat ini, Indonesia di pertarungan final SEA Games 2011 antara Indonesia dan Malaysia, sebuah pertarungan yang sangat dinanti-nanti publik se-ASEAN, dimana dua negara yang akur serumpun (tapi di belakang pukul-pukulan, tonjok-tonjokan dan timpuk-timpukan) akan bertarung memperebutkan sebuah emas dari cabang sepak bola.
Penasaran, penasaran sangat, karena ini pertandingan yang sangat dinanti, dan dibalik itu, aku penasaran dengan perkembangan Kompasiana, yang sekarang lebih menjadi sebagai portal blogger Indonesia dan Malaysia. Benar saja, banyak juga posting mengenai Indonesia (Garuda Muda) mencengkeram Malaysia (Young Tiger), begitu juga sebaliknya. Namun menjadi tidak nyaman ketika ada segelintir orang yang memanfaatkan media Kompasiana ini untuk provokasi, dan kembali lagi, memanaskan issue budak Indon dan (maaf) Malingshit.
[caption id="attachment_144718" align="aligncenter" width="300" caption="MEDAN SELERA"][/caption]
Mas Eddy Roesdiono, penulis, menuliskan bahwa perbedaan bahasa ini kadang seolah-olah tidak dipercaya oleh banyak orang Indonesia dan orang Malaysia sendiri. Orang Indonesia merasa bahwa bahasa Indonesia dan Malaysia ini sama, padahal berbeda. Tengoklah tulisan mas Eddy Roesdiono di http://bahasa.kompasiana.com/2011/11/20/malaysia-boleh-indonesia-bisa/.
Dan akhirnya jatuh hati pada video yang di-upload Zulhilmi Zahir, mahasiswa Malaysia yang berkenalan dekat dengan Rivky Pradana Putra mahasiswa Indonesia. Mereka sepakat untuk bertukar bahasa, untuk bisa saling memahami satu sama lain. Rivky menggunakan gaul Melayu, dan Zulhilmi menggunakan bahasa gaul Indonesia. Berikut tontonannya:Â http://www.youtube.com/watch?v=CwuxsUexcYU.
Saya pribadi (jujur) sempat pernah termakan provokasi oleh media, oleh teman-teman sebangsa sendiri, ketika beberapa kasus politik antara Indonesia dan Malaysia. Sampai suatu ketika, kedubes Malaysia dilempar kotoran, sweeping warga Malaysia di kota-kota besar, saya berkata dalam hati, "Cukup. Sudah keterlaluan.". Kasihan juga tukang-tukang yang membersihkan kotoran di kedubes Malaysia, mereka orang Indonesia juga, harus berhadapan dengan kotoran yang dilempar sebangsanya sendiri. Sejak itu saya belajar memilah-milah berita, mana yang baik dan mana yang buruk.
Sopir taksi di Malaysia (etnis India) pernah saya ajak ngobrol, seputaran macet (jem) di KL, seputaran issue Indonesia dan Malaysia. Bahasa memang berbeda, tetapi kami larut dalam obrolan asik yang tak habis sejak macet ketika keluar dari KL hingga ke KLIA LCC. Di situ sang sopir menyatakan harapannya Indonesia Malaysia ini selalu damai, tidak bertengkar. Tengkar itu biasa, karena memang saudara. Dia berkelakar dengan pantun "Tak Tengkar maka Tak Sayang, haa.....?!", hehehehe....
[caption id="attachment_144719" align="alignright" width="500" caption="TEKSI BERMETER (ARGO)"][/caption]
Suatu saat, meski keadaan dia sulit untuk travelling krn penghasilan juga pas-pasan, sang sopir pengen banget suatu saat bisa berkunjung ke Jakarta dan Bandung, yang katanya sangat terkenal di kalangan warga Malaysia.
Dan aku membayangkan, memang betapa bodohnya kita kalau termakan issue yang hanya berputar di area bahasa. Indon = sebutan mereka untuk menyebut orang Indonesia (tanpa merendahkan kita) dan sebagian besar dari kita pasti tahu itu maksudnya. Budak = anak. Tanyalah kepada orang Malaysia, apa itu budak? Sering juga mereka sebut "budak KL" utk anak KL, budak taman, budak sabang, budak belia (anak muda), budak stesen, budaknya governor (anaknya gubernur, hehehehe....). Masak, anak gubernur dibilang budak gubernur, marah sih? Enggak kan?
Warga Indonesia yang saya temui di KL dekat jalan Tun Abdul Razak, mereka juga masih bangga berbahasa Jawa (yang kebanyakan orang Jawa), mereka buka toko makanan bersama-sama, karena di KL mereka sudah punya uang dan tak mau kembali ke Indonesia, karena di KL mereka bisa mencari nafkah. No offense, negara kita memang masih butuh lowongan pekerjaan sebegitu banyak.