Mohon tunggu...
Radityo Ardi
Radityo Ardi Mohon Tunggu... Lainnya - Cuma manusia biasa, banyak salahnya. Gimana donk?

Lewat 7 tahun lebih tinggal di Singapura. Banyak pelajaran, masih banyak juga yang harus dipelajari dari negeri yang disebut titik merah di peta oleh Habibie. Blog lainnya di https://mas-rdz.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Malunya Jadi Orang Indonesia, Tapi...

20 Juni 2012   17:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:44 1862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa lagi siiiih?", kalimat pertama yang muncul dari mulutku waktu dengar berita tentang ributnya urusan dengan tari Tor-tor. Tak habis pikir, sampai kapan masyarakat Indonesia dewasa dalam menyikapi suatu masalah? Sampai kapan masalah kebangsaan dan budaya ini selesai?

Aku tulen orang Jawa asli, lahir dari keturunan 100% Jawa, dan mampu berbahasa Jawa (setidaknya) yang baik dan benar, dan sesuai ejaan yang disempurnakan. Ketika klaim negara Malaysia bahwa batik adalah warisan budaya mereka, berratus-ratus orang ramai-ramai melakukan demonstrasi. Merasa mendapat makanan empuk, media massa sebagian kecil memaparkan mengenai apa saja yang sebenarnya diklaim Malaysia, sementara sebagian besar melakukan "pemanasan" dengan menghembuskan kata-kata negatif kepada pemirsanya. Kota Padang yang kebetulan menjadi tempat tujuan mahasiswa Malaysia utk menempuh ilmu, mendadak suram ketika ada ancaman sweeping warga terhadap warga Malaysia yang kebetulan tinggal di sana. Makin banyak orang merasa "panas" dengan berita ini, termasuk tukang bajaj dan supir taksi yang biasanya hanya fokus ngurusin perutnya, terusik perasaan nasionalisnya. Batik yang memang warisan budaya populer di kalangan Jawa (aku khususnya), mendadak populer dan dibicarakan ramai se-Indonesia. Batik akhirnya ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda yang dimiliki Indonesia oleh UNESCO. Masyarakat Indonesia bergembira ria atas kemenangan (yang sebenarnya tak terlalu berarti) ini, merayakannya dengan me-nasional-kan batik menjadi pakaian "resmi" dikala hari Jum'at, meski tidak ada ketetapan hukumnya. Aku pun merasa harus memakai batik, ya mau gimana lagi. Temenku yang kebanyakan Chinese aja rame-rame pake batik, masa aku yang Jawa tulen enggak pake sih?! Malu + 1.

Berita klaim batik mulai mereda, orang-orang sudah malas membicarakan lagi. Pembicaraan tentang korupsi, pemerasan, anggota DPR plesiran, pemerkosaan, pembunuhan, dan kawan-kawannya, seakan-akan melanjutkan nadinya. Di titik ini, aku (yang udah capek ngurusin hal tak penting itu, nasionalitas dan budaya asli, klaim sana klaim sini) mulai mencoba membuka tabir hati, dan mencoba mencari fakta dibalik klaim batik yang selama ini didengungkan Malaysia. Dan kebetulan waktu itu, aku diharuskan ikut training ke Kuala Lumpur oleh kantor. Kesempatan bagus menurutku untuk belajar bukan hanya mengenai pekerjaan kantor, tetapi mengenai budaya dan lingkungan sekitar di Malaysia.

Sesampai di sana, kunjungan singkat itu memberi pelajaran kepadaku, kita ini tak berbeda jauh. Indonesia dan Malaysia begitu dekatnya, begitu eratnya, sampai aku merasa bahwa kota ini tak beda jauh dengan kota di Indonesia, negara ini tak beda jauh dengan Indonesia. Salam hangat dari petugas imigrasi Malaysia sewaktu saya datang, sangat membekas di hati. Karena ketika itu petugas imigrasi setelah mengecap paspor saya, ketika berbicara tidak menggunakan bahasa melayu, melainkan bahasa Indonesia! Kurang lebih begini, "Apa kabar, mas? Pengen kunjungan ke mana?". Sesampai di KL, salam hangat dari mbak India di warung sebelah hotel, salam hangat dari kawan sebangsa kita dari Solo yang waktu itu jualan bakso di KL, warung Soto Semarang, sangaaaat membekas dan merasa "di rumah" bangeeeet...

Setitik keinginan untuk jalan-jalan akhirnya tercapai sudah ketika hari terakhir training, menyempatkan jalan-jalan di sekitaran KL. Di mana-mana banyak orang Indonesia, orang Chinese, tak lupa juga orang Melayu dan Caucasian bertebaran dimana-mana. Terpampang pamflet dan iklan mengenai batik Malaysia, "ini dia!" gumamku. Sambil memperhatikan motif batik Malaysia, teringat berita dari media massa "jalur putih" yang mengatakan bahwa batik yang diklaim Malaysia adalah motifnya yang berbeda dari batik di Indonesia, Jawa khususnya, bukan batiknya. Motif batik Malaysia sangaaaaat berbeda jauh dari batik Indonesia, bahkan lebih mirip motif pakaian safari. Perkara motif batik Malaysia yang berbeda ini buatku terjawab sudah! Perkara siapa yang salah, tak ada yang salah dalam kasus ini. Kita aja kebakaran jenggot, dipanas-panasi media "jalur hitam", termakan emosi, kemudian (siapa tau) ada yang iseng lempar kotoran ke kedubes Malaysia. Padahal, tukang bersih-bersihnya juga orang Indonesia tulen, penghasilan rendah, punya anak, punya istri, harus membersihkan sisa-sisa kotoran (baca:emosi) orang se-negaranya.

Setiap cacian dan makian yang kita lempar ke Malaysia, kembali juga ke negara kita, kembali lagi ke diri kita masing-masing. Karena asasnya setiap manusia ini tak ada yang 100% sempurna. Aku teringat juga dengan cerita ketika Isa (Yesus) melihat ada pelacur hampir dirajam, dilempari batu sampai mati, hanya karena dia seorang pelacur. Yesus mengatakan bahwa siapapun yang merasa tak pernah membuat kesalahan dalam hidupnya, tak pernah berdosa sedikitpun, boleh melempar wanita itu dengan batu. Ditantang demikian, satu-persatu orang-orang mundur dan meletakkan batunya ke tanah.

Sebegitu dekatnya kita dengan Malaysia, hingga rekan-rekan kita di Sumatera dan Kalimantan, memang banyak yang berkuliah di Malaysia, berobat ke Malaysia, bekerja di Malaysia bahkan menjadi boss di sana, atau bahkan pindah kewarganegaraan. Tak nasionalis? Nggak juga, karena mereka (warga-warga Indonesia yang menjadi warga negara Singapura atau Malaysia) pasti punya alasan kuat mengapa mereka mau pindah kewarganegaraan. Ada pula warga Bintan yang kuliah di Australia, sering hidup, sekolah dan bekerja di Singapura, tak mau pindah kewarganegaraan meski kesempatan terbuka begitu lebarnya.

Kini aku tinggal di negeri kecil di seberang, yang tak jauh pula dari Batam. Kini dari sini, aku bisa melihat adanya akulturasi budaya Jawa, Sumatera, Malaya, Bugis, sangaaaat mencampur dan kental di sini. Bahkan makin penasaran dengan harmoni kehidupan warga di ASEAN ini, dan kemudian kembali mempertanyakan, "apakah benar, semenanjung ini dulunya 1 pulau yang saling terhubung? apakah benar, negara-negara ASEAN ini dulunya adalah ATLANTIS kota yang hilang itu?'.

Semakin penasaran dengan Singapura, dimana sebelum dinamai Singapura, namanya adalah Temasek. Sampeyan pernah dengar company besar dg nama Temasek Holdings? Temasek (yang secara mengejutkan) ternyata adalah nama Jawa. Kata aslinya adalah Tumasik, yang berubah menjadi Temasek karena lidah melayu. Tumasik (di buku Pepak Boso Jowo) ini termasuk kata yang mendapat imbuhan, berasal dari kata Tasik yang berarti laut atau pantai, dengan imbuhan -um-. Detail tentang Temasek (Singapura) dapat dibaca di Wikipedia.

Malaysia, juga tak kalah menariknya kalo kita melihat dari sejarahnya. Konon, kerajaan di Melayu (Sumatera kuno) dan kerajaan di Jawa memang erat hubungannya dan tak bercela. Konon disebut Nusantara yang meliputi kerajaan-kerajaan Melayu dan Jawa. Pernah juga ketika mereka besanan, dan menikahkan anaknya yang berbeda budaya, dan menjadi selaras antara Melayu dan Jawa. Hingga suatu saat, berperang, dan kerajaan di Melayu tsb pindah ke semenanjung malaya, yang sekarang menjadi Malaysia. Sebagian warganya ikut ke semenanjung, dan sebagian di Sumatera. Sebagian warga Jawa juga ada di semenanjung Malaya, sebagian besar di Pulau Jawa. Dan ini terjadi jauuuuuh hari sebelum Nusantara dijajah Inggris, Belanda, Portugis, Jepang, dan lainnya.

Berangkat dari pemikiran dan beberapa fakta-fakta ini, kenapa tidak kita yang mencerna dahulu apa yang diberitakan, apa yang disampaikan oleh negara tetangga, sebelum kita berniat untuk protes atau berdemo. Untuk tari Tor-tor, kali ini faktanya adalah Batak Mandailing yang sekarang menjadi warga Malaysia, ingin juga diakui bahwa mereka ada di Malaysia, selain Jawa, Bugis, Minang yang sudah diakui eksis, dan oleh karenanya, pantas dilestarikan. Aku tak melihat sesuatu negatif dibalik niat ini, toh selama untuk kebaikan dan kelestarian budaya, kenapa enggak? Justru dengan ini, kita tak perlu protes, bahkan harusnya kita mengajak Malaysia, mari kita lestarikan tari Tor-tor asli Mandailing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun