Raditya Dwi Indrawan – 3609.100.004
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota - Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Pembangunanberkelanjutan diperkenalkan pertama kali dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Menurut laporan dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalahproses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhikebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salahsatu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimanamemperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomidan keadilan sosial. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our Common Future” (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada 1987. Di dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting.
Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Budimanta (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk menikmati dan memanfaatkannya. Dalam proses pembangunan berkelanjutan terdapat proses perubahan yang terencana, yang didalamnya terdapat eksploitasi sumberdaya, arah investasi orientasi pengembangan teknologi,dan perubahan kelembagaan yang kesemuanya ini dalam keadaan yang selaras, serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan.
Menurut Imam Utomo (2003) yang pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya, yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mempertimbangkan keseimbangan aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan kebutuhan sumberdaya baik untuk generasi sekarang dan generasi berikutnya yang akan memberikan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan baik secara lokal, nasional maupun secara global melalui berbagai upaya masyarakat dan Pemerintah. Perencanaan pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan, mempunyai tiga tujuan utama, yaitu:
1. Pembangunan ekonomi yang dinamis dan terus hidup
2. Pembangunan yang secara sosial politis dapat diterima serta peka terhadap aspek-aspek budaya, dan
3. Ramah lingkungan
Tujuan pembangunan yang berkelanjutan tersebut akan tercapai bila pelaksanaan pembangunannya dilakukan secara seimbang bagi setiap tujuannya, yaitu ekonomi, social politik dan lingkungan. Realisasi pembangunan berkelanjutan diperkotaan menuntut kebutuhan ruang kota dan pemanfaatan sumber daya. Ketersediaan ruang-ruang kota (lahan), seringkali tidak sejalan dengan tingkat kebutuhannya, sehingga menimbulkan pertentangan prioritas peruntukan ruang bagi tujuan pembangunan, biasanya kepentingan pembangunan ekonomi lebih mendapat prioritas dari pada yang lain yaitu social-politik atau lingkungan. Sehingga realisasi rencana pembangunan yang berkelanjutan harus disertai konsep penataan ruang kota bagi setiap tujuan pembangunan tersebut dilaksanakan dengan konsisten.
Terkait dengan pembangunan perkotaan, maka kota yang menganut paradigma pembangunanberkelanjutan dalam rencana tata ruangnya merupakan suatu kota yang nyaman bagipenghuninya, dimana akses ekonomi dan sosial budaya terbuka luas bagi setiap warganya untukmemenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan interaksi sosial warganya serta kedekatandengan lingkungannya. Menurut Budimanta (2005), bila kita membandingkan wajah kota Jakartadengan beberapa kota di Asia maka akan terlihat kontras pembangunan yang dicapai. Singapuratelah menjadi kota taman, Tokyo memiliki moda transportasi paling baik di dunia, serta Bangkoksudah berhasil menata diri menuju keseimbangan baru ke arah kota dengan menyediakan ruangyang lebih nyaman bagi warganya melalui perbaikan moda transportasinya.
Perbedaan terjadi karena Jakarta menerapkan cara pandang pembangunan konvensional yangmelihat pembangunan dalam konteks arsitektural, partikulatif dalam konteks lebih menekankanpada aspek fisik dan ekonomi semata. Sedangkan ketiga kota lainnya menerapkan cara pandangpembangunan berkelanjutan dalam berbagai variasinya, sehingga didapatkan kondisi ruang kotayang lebih nyaman sebagai ruang hidup manusia di dalamnya. Menurut Budihardjo (2005),rencana tata ruang adalah suatu bentuk kebijakan publik yang dapat mempengaruhikeberlangsungan proses pembangunan berkelanjutan. Namun masih banyak masalah dankendala dalam implementasinya dan menimbulkan berbagai konflik kepentingan. Konflik yangpaling sering terjadi di Indonesia adalah konflik antar pelaku pembangunan yang terdiri daripemerintah (public sector), pengusaha atau pengembang (private sector), profesional (expert),ilmuwan (perguruan tinggi), lembaga swadaya masyarakat, wakil masyarakat, dan segenaplapisan masyarakat. Konflik yang terjadi antara lain: antara sektor formal dan informal atausektor modern dan tradisional di perkotaan terjadi konflik yang sangat tajam.
Terkait dengan konflik tersebut, maka beberapa usulan untuk meningkatkankualitas perencanaan ruang, antara lain:
1. Orientasi jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalahjangka pendek yang bersifat inkremental, dengan wawasan padapelaksanaan atau action oriented plan.
2. Penegakan mekanisme development control lengkap dengan sanksi (disinsentif) bagiberbagai jenis pelanggaran dan insentif untuk ketaatan pada peraturan.
3. Perlu peningkatan kepekaan sosio kultural dari para penentu kebijakan dan para professional (khususnya di bidang lingkungan binaan) melalui berbagai forumpertemuan/ diskusi/ ceramah/ publikasi, baik secara formal maupun informal.
4. Keunikan setempat dan kearifan lokal perlu diserap sebagai landasan dalam merencanakan dan membangun kota, agar kaidah a city as a social work of art dapatterejawantahkan dalam wujud kota yang memiliki jati diri. Fenomena globalization withlocal flavour harus dikembangkan untuk menangkal penyeragaman wajah kota dan tata ruang.
5. Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model advocacy,participatory planning dan over-the-board planning atau perencanaan lintas sektoral,sudah saatnya dilakukan secara konsekuen dan konsisten.
Disamping lima usulan tersebut tentunya implementasi indikator-indikatorpembangunan berkelanjutan yang berpijak pada keseimbangan pembangunan dalamsedikitnya 3 (tiga) pilar utama, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial harus menjadi dasarpertimbangan sejak awal disusunnya suatu produk rencana tata ruang kota/wilayah agar tujuan bersama untuk mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan melalui penataan ruang dapat tercapai.
Sumber:
Budihardjo, E. 2005. Konflik Tata Ruang dan Pluralisme Budaya dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21.
Tjahja Djajadiningrat. 2005. Soegijoko, BTS, Napitupulu, GC, dan Mulyana. W (Editor). Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, “Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia” (Buku 1). Urban and Regional Development Institute dan Yayasan Sugijanto Soegijoko. Jakarta.
Budimanta, A. 2005. Memberlanjutkan Pembangunan di Perkotaan melalui Pembangunan Berkelanjutan dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H