Â
Banyak yang mengira sepakbola Indonesia lebih baik dari pada negara-negara tetangga semisal Myanmar,Vietnam,dan Thailand. Dengan keadaan sepakbola negri ini yang carut marut seperti sekarangpun mayoritas masyarakat masih menganggap sepakbola indonesia masih lebih tinggi drajatnya ketimbang tiga negara diatas. Memang patut dibanggakan bahwa animo supporter Indonesia masih lebih booming se-asia tenggara bahkan dunia internasionalpun mengakui supporter indonesia sangat fanatik mendukung tim kebanggan. Apakah cukup jika kita hanya mengagumi fanatisme belaka?
Sejarahpun berbicara saat timnas Indonesia menjadi finalis piala dunia pada tahun 1938 saat masih membawa nama Hinda-Belanda tetapi mayoritas sekuat yang saat itu ditanggani coach asal negri kincir angin bernama Johannes Christoffel van Mastenbroek itu mampu membawa nama baik Hindia-Belanda (Indonesia) meskipun hanya sebagai finalis karena hanya sampai fase group pada saat itu. Indonesia pun sempat menyandang Macan Asia dengan kegemilanggan sekuat era Achmad Nawir (captain Hindia Belanda), Ronny Patinasarani (Era Galatama), Rocky Putiry (Era Perserikatan). Semua legenda itu pernah membawa garuda mengepakan sayap hingga dunia.
Tapi itu dulu itu hanya sebuah sejarah yang pernah terukir manis sebagai sweet story persepakbolan nasional, tapi lagi-lagi itu hanya sebuah kenanggan dengan keadaan sepakbola nasional yang sekarang rasanya sulit untuk mengulang cerita manis itu lagi. Bandingkan dengan sepakbola Thailand negara kecil dan secara geografis klub-klubnya pun letaknya berjauhan satu sama lain atmosfer stadion pun tidak semeriah diindonesia, tetapi kenapa pesepakbolan thailand menjadi yang paling maju diantara negara-negara diasia tenggara?
Kunci dari kesuksesan persepakbolaan Thailand saat ini tak lepas dari konsistensi pihak-pihak berkepentingan yang mampu mengemban amanah masyarakat pencinta sepakbola thailand, TPL (Thai Premier League) sendiri berdiri pada 1996 tetapi baru berkembang pada tahun 2008 TPL pun berkembang karena mereka berkiblat dari EPL (English Premier League) mereka sepenuhnya mengacu pada regulasi EPL tetapi juga dibarengi dengan pelaksanaan regulasi AFC. FAT (PSSInya Thailand) menerapkan regulasi ketat terhadap seluruh konstestan TPL, diantaranya mewajibkan pengembangan sepakbola usia dini yang hasilnya dapat dilihat akhir-akhir ini dimana squad thailand mampu meraih double title yaitu AFC Cup 2014 Sea Game 2015, itu membuktikan bahwa pesepakbolan thailand sukses menjalankan programnya tentang pengembangan usia dini
Fasilitas kontestan TPL pun bisa dibilang bukan kelas bawah lagi bahkan sudah hampir menyamai fasilitas klub-klub benua biru. Contohnya Buriram United, I-Mobile stadium kandang Buriram United yang memilliki fasilitas stadion yang sangat lengkap dan mewah locker roomnya pun amat sangat memanjakan bagi para pemain disana diberlakukan sistim membeli tiket layaknya di sebuah bioskop, stadion yang hanya mampu menampung sekitar 36.000 penonton bandingkan dengan Kanjuruhan Stadium (kandang dari Arema Malang) yang mampu menampung 100.000 penonton, pastinya bukan itu yang diincar oleh manajemen Buriram United mereka megutamakan kenymanan para Faifa Ayutthaya (fans Buriram United).
Seperti halnya Thailand, Vietnam dan Myanmar pun sedikit-sedikit mulai menikmati hasil dari kerja keras mereka soal pembinaan usia muda, Myanmar yang paling baru timnas u-19 mereka mengikuti turnamen yang amat sangat bergengsi kelasnya, piala dunia U-20 di New Zealand meski mereka hanya sampai fase group tetapi perjuangan untuk menjadi finalis. Tetapi perjuangan para pemain muda myanmar patut diapresiasi mengusung gaya permainan tiki-taka ala Brcelona dipadukan dengan gaya kick and rush ala Liga Inggris skuat myanmar pun harus susah payah maju ke piala dunia u-20 myanmar hanya menempati posisi ke-3 dalam piala AFC setelah mengalahkan Uni Emirat Arab dengan skor 1-0 Myanmar pun lolos piala dunia u-20 menemani Korea Utara
Lain halnya dengan Vietnam sebenarnya Vietnam dan Indonesia tidak jauh beda iklim pesepakbolanya dari mulai masalah fanatisme berlebihan para fans sampai menimbulkan korban jiwa tungakan gaji pemain hingga isu-isu pengaturan skor korupsi para petinggi VPF (PSSInya Vietnam) akan tetapi federasi sepakbola vietnam mampu bangkit dari keburukan sepakbola Vietnam akhir-akhir ini para kontestan V.League 1 (liga super Vietnam) mulai sadar akan keadaan karena keseringan menunggak gaji pemain kontestan V.League 1 mulai mengurangi pemakaian pemain asing/pemain berbandrol mahal mereka lebih memilih mengangkat pemain binaan mereka hal ini untuk menghemat biyaya pengeluaran klub. Alhasil timnas Vietnam muda pun mampu berbicara banyak di level asia tenggara terakir mereka menjadi runer-up AFF cup 2013 dibawah Indonesia mereka saat ini sudah sampai dipartai final kejuaraan AFF u-19 2015 di Myanmar dengan menghadapi Thailand
Jika dibandingkan dengan Thailand, Myanmar dan Vietnam pun bisa dibilang belum menyamai Thailand dalam hal federasi yang mapan dan sarana prasaran pun masih jauh dari kata excellent seperti halnya rata-rata klub Thailand, akan tetapi memulai perubahan mulai dari hal kecil yang fatal seperti pembinaan usia muda itu merupakan akses masuk untuk unjuk gigi di kancah dunia, sebenarnya indonesia juga pernah memberlakukan sistem pembinaan usia muda ini contohnya, SAD (Sociedad Anónima Deportiva) adalah program pengiriman pemain u-17 untuk berkompetisi di Uruguay hasilnya juga bisa dibilang lumayan produktif menghasilkan pemain-pemain berbakat harapan masyarakat pencinta sepakbola tanah air sebut saja Vava Mario Yagalo (persebaya), Yandi Sofyan Munafar (persib), Alfin Tuasalamony (persebaya), Rizky Pellu (Mitra Kukar), Syamsir Alam, Artur Irawan (Wassland-Baveren divisi 3 Liga Belgia) dari ‘mantan’ wonderkid tadi tentu yang paling sukses Artur Irawan yang sampai saat ini masih berkiprah diluar negri. Ada lagi proyek ala Indra Sjafri yang menghasilkan garuda-garuda muda yang menjuarai piala AFF cup u-19 di Sidoarjo, akan tetapi banyak yang menyayangkan pemecatan Indra Sjafri sebagai arsitek garuda muda saat itu, alhasil proyek pengembangan pemain usia muda saat ini hancur berantakan dari garuda-garuda muda yang diasah oleh indra sjafri hanya Evan Dimas yang paling menonjol terakir dia trial di negara matador dengan klub divisi segunda, UE Llagostera
Seharusnya memang seluruh instan terkait bersabar menanti para garuda-garuda ini, supaya siap dan makin tajam untuk akhirnya dilepas ke angkasa untuk menyilaukan mata dunia betapa hebatnya talenta dari tanah air ini garuda yang siap akan hegemoni di Old Trafford, Santiago Bernabue, Camp Nou hingga ke Alianz Arena bukan garuda yang puas dengan atmosfer di Gelora Bung Tomo, Jalak Harupat atau GBK semata. Membangunkan macan yang sudah lama dirintis oleh Ir Soeratin bukanlah sekedar mission imposible belaka jika para instansi terkait mau dan rela mengorbankan segala kepentingan demi kebangaan bangsa INDONESIA !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H