Di antara istilah yang baru-baru saja muncul dan kerap digunakan oleh generasi muda di Indonesia adalah bucin, yaitu singkatan dari budak cinta. Istilah tersebut ditujukan untuk seseorang yang 'diperbudak' oleh cinta, dan karenanya ia tidak bisa mengontrol diri untuk lepas dari cintanya, seolah-olah ia menganggap bahwa setiap langkah yang ia tempuh tidak terlepas dari cintanya. Di kalangan generasi muda di Indonesia, fenomena bucin telah merajalela, terutama di kalangan siswa SMP, SMA dan mahasiswa. Jika seseorang itu dikatakan sebagai bucin, ia adalah seseorang yang romantis dengan daya berfikir dengan nalar yang dapat dibilang dibawah rata-rata, di mana orang-orang itu merasa dirinya ingin membahagiakan kekasihnya, bukan mencari jati dirinya. Seseorang yang dikatakan sebagai bucin dalam kesehariannya tidak telepas dari media sosial, dimana orang-orang itu seringkali melakukan chat yang tidak jauh dari perasaan cinta. Tidak hanya berhenti di situ, orang-orang yang bucin melakukan berbagai tindakan yang menunjukkan cintanya. Respon orang-orang terhadap bucin selama ini telah beragam, sebagian orang menganggap bucin adalah suatu hal yang biasa dimana hal tersebut merupakan manifestasi rasa cinta yang cenderung romantis, sedangkan yang lainnya menganggap bahwa bucin adalah manifestasi rasa cinta yang terlalu berlebihan. Tidak hanya media sosial, film dan drama percintaan juga memainkan peranan penting dalam percintaan di kalangan generasi muda di Indonesia di zaman sekarang ini, bahkan gaya berpacaran muda-mudi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh industri skala besar, yaitu media sosial, film dan drama.
Fenomena bucin ini menarik bila dikaji melalui sosiologi kepemudaan dalam berbagai teori, karena yang selama ini dianggap sebagai bucin selalu dianggap sebagai hal yang negatif. Tetapi kenyataannya tidak demikian, karena di dalam teori sosiologi kepemudaan, dikatakan bahwa setiap individu yang mengalami cinta itu hakikatnya tidak pernah lepas dari ekspresi cinta. Pada hakikatnya, ekspresi cinta itu tidak selalu dilakukan secara berlebihan. Jika dikaji secara mendalam melalui kajian sosiologi kepemudaan, maka terdapat enam kategori ekspresi cinta. Keenam ekspresi cinta tersebut dapat dikatakan sebagai bucin, walaupun tidak melulu ekspresi cinta yang berlebihan.
Salah satu dari keenam ekspresi cinta yang dikenal dalam kajian sosiologi kepemudaan adalah transedental, dimana ekspresi cinta seperti ini dapat disebut sebagai bucin religius atau bucin syariah. Dalam ekspresi cinta transedental, cinta yang dirasakan itu selalu dikaitkan dengan adanya nilai dan norma agama dalam relasi bercinta. Dalam hal ini, contoh yang sederhana adalah selalu mengingatkan untuk sholat, puasa, ke gereja, vihara, kuil atau ibadah lainnya sesuai dengan agama mereka. Contoh lainnya adalah tidak mau berlama-lama bertatap muka dan menghindari kontak fisik sebisa mungkin, bahkan ada lagi contoh yang lebih mengarah ke hubungan permanen, yaitu tidak ingin lama-lama berpacaran dan ingin segera menikah. Transedental itu sendiri artinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan kerohanian, maka dari itu dapat disimpulkan bahwa ekspresi cinta yang transedental adalah sebuah ekspresi cinta dimana sisi kerohanian memainkan peranan penting di dalamnya. Bucin transedental ini bisa jadi karena murni semata-mata ekspresi diri dan bisa juga karena tekanan akan takut berbuat dosa. Dalam hal ini, yang penulis amati adalah banyaknya muda-mudi di Indonesia yang memilih gaya berpacaran yang tujuannya agar segera menikah dan alasan yang mereka miliki beragam, ada yang hanya karena ingin sekedar mengekspresikan identitasnya sebagai orang yang religius, ada lagi yang karena mereka takut terjerumus ke dalam perzinahan dan ada juga alasan lainnya.
Untuk ekspresi cinta transedental, dapat dikategorikan sebagai bucin, walaupun sebagian orang tidak menganggap bahwa ekspresi cinta yang sedemikian tidaklah berlebihan. Jika bucin yang terjadi pada sepasang kekasih adalah bucin transedental, maka dapat terjadi bucin yang selalu mengingatkan untuk ibadah, baik itu melalui medsos maupun secara lisan. Bukan hanya itu, ada juga bucin transedental yang tujuannya memang ingin menghindari sebisa mungkin dampak buruk dari pacaran, atau dalam bahasa religiusnya menjauhi zina, seperti mempunyai komitmen untuk menghindari berduaan di tempat yang sepi dengan selalu mengajak kekasihnya ke acara keluarganya, dan itu alasannya bisa beragam, ada yang murni karena ingin mencari eksistensi diri, ada yang karena tekanan untuk takut berbuat dosa, ada yang karena tekanan sosial dari lingkungan, dan banyak lagi alasan lainnya. Bucin jenis ini sangat popular di kalangan generasi muda di Indonesia, karena agama memang memainkan peranan yang penting bagi hampir semua orang di Indonesia. Yang penulis ketahui, di Indonesia ada banyak kampanye yang mengajak generasi muda untuk tidak melakukan kegiatan pacaran, oleh karena itu dapat disimpulkan oleh penulis bahwa generasi muda di Indonesia banyak yang terpengaruh, dan mereka mudah terpengaruh karena berbagai alasan, dari alasan takut dosa sampai pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa kampanye-kampanye seperti itu berhasil dalam 'menciptakan' fenomena bucin transedental, karena muda-mudi yang berpacaran banyak yang mengadopsi kebiasaan yang sedemikian. Di zaman sekarang ini, sudah dikenal proses ta'aruf, yaitu sebuah proses yang merupakan langkah awal untuk mengenalkan dua keluarga yang akan menjodohkan anaknya yang berlawanan jenis kelamin, dimana di dalam proses tersebut calon pasangan itu saling mengenal, kemudian merencanakan untuk menikah. Terkadang di dalam proses ta'aruf, ada proses saling mengingatkan agar menjauhi zina dan taat beribadah, yang dapat digolongkan sebagai bucin transedental.
Ada satu lagi ekspresi cinta yang disebut dengan eros, dimana ekspresi cinta sangat berkaitan dengan ekspresi yang selalu dikaitkan dengan emosi sesaat saja. Contoh yang sederhana untuk hal ini adalah tiba-tiba marah kepada kekasihnya, kemudian langsung baikan (minta maaf). Jika bucin yang terjadi pada sepasang kekasih adalah bucin eros, maka dapat terjadi bucin yang selalu disertai dengan amarah yang disebabkan oleh kebiasaan salah satu pihak (baik lelaki maupun perempuan) yang dianggap menyebalkan, seperti merokok, sering terlambat saat ada janji bertemu dan semisalnya, setelah marah karena kebiasaan kekasihnya yang menyebalkan, bahkan sampai mengancam putus, kemudian ia langsung meminta maaf karena ia memang memiliki rasa cinta kepada kekasihnya. Bucin jenis ini cukup popular di kalangan generasi muda di Indonesia, terutama setelah munculnya film Dilan, karena film memainkan peranan penting di kalangan generasi muda di Indonesia. Yang penulis amati sejak dahulu adalah pentingnya peranan film di kalangan generasi muda di Indonesia mempengaruhi pola pikir mereka, dalam hal ini bucin yang tergolong sebagai eros menjadi semakin populer di Indonesia, karena mereka terpengaruh dari film Dilan, dimana Milea (kekasih Dilan) mengancam ingin putus dengan Dilan karena kebiasaan Dilan yang menyebalkan (menjadi anggota geng motor), kemudian Milea memaafkan Dilan agar Dilan berjanji tidak melakukan kegiatannya sebagai anggota geng motor lagi. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di Indonesia di zaman sekarang ini, bucin jenis ini semakin populer di kalangan generasi muda, karena pengaruh film pada mentalitas generasi muda sangat kuat.
Ekspresi cinta yang juga dijadikan bahan kajian di dalam cabang sosiologi kepemudaan adalah cinta pragmatis, dimana ekspresi cinta sangat berkaitan dengan ekspresi yang selalu dikaitkan dengan berbagai pertimbangan yang akan dilakukan dan pengambilan keputusan atas dasar menguntungkan atau tidak baginya. Contoh yang sederhana untuk hal ini adalah menolak ajakan sang kekasih untuk datang ke acara keluarganya, karena dianggap membuat sang kekasih tidak nyaman, sedangkan jika diajak ke mall atau ke bioskop, sang kekasih mau saja, karena dianggap membuat sang kekasih nyaman. Bucin jenis ini cukup popular di kalangan generasi muda di Indonesia, sebagaimana di kalangan generasi muda di seluruh dunia. Kenyataan yang terjadi di Indonesia memang dapat dikatakan demikian, karena di Indonesia, generasi muda memang tidak bisa jauh dari yang namanya berpacaran, dengan berbagai gaya berpacaran yang berbeda-beda dilakukan oleh setiap pemuda di Indonesia.
Di dalam kajian sosiologi kepemudaan, ada lagi ekspresi cinta yang dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk bucin, yaitu bucin fanatik atau yang biasa disebut sebagai ekspresi cinta yang posesif, dimana ekspresi cinta sangat berkaitan dengan keinginan menguasai dan memiliki sang kekasih, terkadang bucin jenis ini bisa menjurus kepada sikap overprotective, bahkan dalam kasus yang ekstrim bisa mengarah ke kelainan jiwa (psikopat). Contoh yang sederhana untuk hal ini adalah A selalu memarahi B jika A jalan-jalan dengan teman-temannya. Contoh lainnya adalah A memiliki gadget yang harus terkoneksi GPS nya dengan gadget milik B. Bucin jenis ini tidak begitu populer di kalangan generasi muda di Indonesia, kecuali di kalangan pemuda yang labil jiwanya, karena bucin fanatik itu mendekati psikopat. Dapat dikatakan bahwa bucin fanatik itu mendekati psikopat karena di dalam hubungan seperti itu seseorang itu dapat menjadi tergila-gila dengan kekasihnya, dalam hal ini perasaan ingin memilikinya terus menerus. Jenis bucin ini sangat mengarah ke psikopat, bahkan tidak jarang pula orang bunuh diri/kehilangan motivasi karena diputus oleh kekasihnya. Yang penulis amati adalah kejadian orang bunuh diri karena diputus oleh kekasihnya memang terjadi di Indonesia, walaupun jarang terjadi. Jika penulis ingin menyimpulkan populer atau tidaknya bucin jenis ini di kalangan generasi muda di Indonesia, mohon ma'af jika penulis tidak bisa, karena penulis sendiri belum pernah melakukan survei apapun terhadap generasi muda di Indonesia dan ekspresi cinta. Yang penulis dapat simpulkan adalah bucin fanatik adalah suatu ekspresi cinta yang berlebihan, bahkan bisa berujung kepada penyakit mental.
Tidak berhenti di situ, ada juga jenis ekspresi cinta yang dibahas dalam teori sosiologi kepemudaan, yaitu cinta realistik. Dalam hal ini, ekspresi cinta itu berada pada kategori realistik dan dilakukan sewajarnya saja (tidak berlebihan). Jika seseorang itu memiliki rasa cinta yang realistik, maka yang ia ekspresikan dalam hal rasa cinta itu selalu sejalan dengan nilai dan norma yang berlaku. Dalam hal ini, sepasang muda-mudi yang masih berpacaran akan latihan menjadi suami istri, walaupun tidak samenleven. Dalam hal ini, Contoh yang sederhana untuk hal ini adalah A sebagai laki-laki dari desa menjemput B pacarnya yang sedang kuliah dan tinggal di rumah kost di kota besar. Dalam hal ini, meskipun masih berpacaran, namun mereka sedang latihan menjadi suami-istri. Bucin jenis ini sangat populer di kalangan generasi muda di Indonesia, karena agama memainkan peranan yang penting dalam kehidupan sebagian besar masyarakat di Indonesia, dan bagi mereka, berpacaran itu diniatkan agar nantinya mereka dapat menikah, bukan untuk sekedar samenleven dan bersenang-senang. Yang penulis amati, bucin realistis itu memang populer di kalangan generasi muda di Indonesia, dan hal itu tidak bisa dipungkiri. Di kalangan generasi muda di Indonesia, memang banyak laki-laki yang sengaja menjemput perempuan kekasihnya yang berkuliah dan/atau bekerja di luar daerah untuk pulang ke daerah asalnya.
Ada satu lagi ekspresi cinta yang tidak pernah luput dari kajian sosiologi kepemudaan, yaitu cinta idealistik. Dalam hal ini, ekspresi cinta itu sangat erat hubungannya  dengan prinsip hidup individu saat menjalin suatu hubungan, maka jika seseorang itu memiliki hubungan cinta idealistik, maka yang ia alami adalah hubungan cinta yang cenderung tidak akan membeda-bedakan perlakuan dengan pasangan meskipun ia konsisten dengan karakteristiknya. Contoh yang sederhana adalah jika A menjalin hubungan dengan B, A bersikap romantis, kemudian B memutuskan hubungannya dengan A, setelah itu A menjalin hubungan dengan C dan A tetap bersikap romantis dengan C. Bucin jenis ini cukup populer di kalangan generasi muda di Indonesia, sebagaimana di kalangan generasi muda di seluruh dunia. Penulis dapat menyimpulkan bahwa bucin idealistik itu memang cukup populer, karena memang itu sudah menjadi sifat dasar generasi muda dalam mencari cinta. Yang penulis amati selama ini, cinta idealistik memang banyak dialami oleh generasi muda di Indonesia, mungkin karena banyak terpengaruh dari film-film. Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa film-film yang ada di Indonesia ini memainkan peranan yang signifikan dalam pola pikir dan tingkah laku generasi muda di Indonesia, khususnya film tentang percintaan. Penulis sendiri pun sudah menyaksikan bahwa memang banyak pasangan muda-mudi yang bergonta-ganti pasangan dan salah satu pihak tetap menjalin hubungan romantis dengan kekasihnya yang satunya lagi. Meskipun demikian, penulis tidak bisa menyimpulkan apakah bucin idealistik di Indonesia populer atau tidak, karena penulis sendiri belum pernah melakukan survei apapun terhadap generasi muda di Indonesia dan ekspresi cinta.
Dalam hal ini, jika dikatakan bahwa bucin adalah ekspresi cinta yang berlebihan, itu salah. Bagi orang awam yang tidak mengerti tentang sosiologi kepemudaan, bucin sering dianggap sebagai suatu fenomena yang merupakan perasaan cinta yang terkadang menjurus kepada ekspresi cinta yang berlebihan, tetapi kenyataannya tidak demikian. Bucin bukanlah semata-mata orang yang 'diperbudak' oleh cinta karena sudah lama menjalin hubungan dengan kekasihnya, tetapi itu merupakan ekspresi cinta yang memang menandakan rasa cinta, meskipun tidak berlebihan, karena ada juga ekspresi cinta, menurut kajian sosiologi kepemudaan, yang wajar dilakukan dan dapat dikategorikan sebagai bucin, seperti ekspresi cinta transedental, dimana cinta diekspresikan dengan agama/kepercayaan yang diamalkan dan ditujukan untuk mematuhi norma dari agama/kepercayaan pasangan yang bersangkutan, ada lagi ekspresi cinta realistik, dimana sepasang kekasih itu memang benar-benar latihan untuk menjadi pasangan suami-istri. Maka, semua anggapan masyarakat awam di Indonesia tentang bucin itu salah, karena untuk dikatakan bahwa seseorang itu 'diperbudak' oleh cinta, cukup dengan ekspresi cinta yang wajar dan tidak harus dilakukan secara berlebihan seperti mengekspresikan cinta yang fanatik (rasa ingin memiliki sang kekasih), karena rasa cinta dapat diekspresikan dalam berbagai cara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H