Kesehatan reproduksi remaja adalah aspek kesehatan yang berkaitan dengan sistem reproduksi pada usia remaja, yaitu antara 10 hingga 19 tahun. Perhatian terhadap kesehatan reproduksi remaja sangat penting karena pada masa ini terjadi perubahan fisik dan emosional yang signifikan, termasuk perkembangan organ reproduksi dan hormon seksual.
Badan Pusat Statistik melalui Sensus Penduduk 2022 menunjukkan bahwa remaja yang berusia 10-19 tahun berjumlah 44,3 juta atau 16% dari 276 juta orang penduduk Indonesia. Isu kesehatan reproduksi dan seksual remaja menjadi penting bagi pembangunan nasional mengingat besarnya populasi penduduk remaja tersebut dan dampak jangka panjang yang dapat ditimbulkan dari persoalan kesehatan reproduksi (Diana, 2013)
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2010, sebanyak 41,9% usia perkawinan pertama berada pada kelompok usia 15-19 tahun, dan 33,6% berada pada kelompok usia 20-24 tahun. Riset ini juga menunjukkan bahwa 13% remaja perempuan tidak tahu tentang perubahan fisiknya dan hampir separuhnya (47,9%) tidak mengetahui kapan masa subur seorang perempuan. Artinya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja relatif masih rendah.
Sementara, Kementerian Kesehatan melaporkan penduduk remaja kita saat ini rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi dan seksual, seperti perkawinan remaja, pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual yang rendah, kehamilan di usia muda, kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual seperti HIV dan AIDS, aborsi yang tidak aman, maupun kekerasan berbasis gender.
Dari pandangan Agama Islam, Islam mendorong umat Muslim untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan tubuh mereka. Ini termasuk menjaga kebersihan, menghindari perilaku berisiko yang dapat merusak kesehatan reproduksi, menghindari perzinahan dan mencari perawatan medis yang diperlukan jika ada masalah reproduksi.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Isra Ayat 32 yang berbunyi
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS Al-Isra (17): 32.
Ayat tersebut menegaskan bahwa bukan hanya seks ilegal yang dilarang, tapi apapun yang menuntun seseorang menuju seks illegal tersebut. Berkhalwat laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, berpakaian yang merangsang, berbusana sangat minim, percabulan, dan pornografi.
Komisi Nasional Perempuan (Komnas) melaporkan jumlah kasus kriminal kesusilaan yang terdiri dari pemerkosaan dan pencabulan meningkat selama lima tahun terakhir. Dalam rentang waktu 2016 hingga 2021, terjadi peningkatan kasus pemerkosaan dan pencabulan mencapai 31%. Pada 2016, jumlah kasus tersebut sebanyak 5.237, sementara pada 2020 menjadi 6.872 kasus.
Rendahnya pendidikan kesehatan reproduksi remaja dapat memiliki dampak negatif yang signifikan. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang dapat terjadi. Pertama, risiko kehamilan remaja yang tidak direncanakan: kurangnya pemahaman tentang kontrasepsi, perlindungan, dan pencegahan kehamilan dapat menyebabkan remaja terlibat dalam aktivitas seksual tanpa menggunakan kontrasepsi yang efektif. Hal ini meningkatkan risiko kehamilan yang tidak direncanakan, yang dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental remaja, serta menimbulkan tantangan sosial dan ekonomi. Kedua, penyebaran penyakit menular seksual (PMS): rendahnya pemahaman tentang PMS dan kurangnya pengetahuan tentang pencegahan, pengujian, dan pengobatan PMS dapat meningkatkan risiko remaja terkena PMS. Penyebaran PMS, seperti HIV/AIDS, sifilis, gonore, dan herpes, dapat memiliki dampak serius pada kesehatan reproduksi remaja dan dapat berlanjut ke tahap lanjut jika tidak diobati. Ketiga, gangguan kesehatan reproduksi: remaja yang kurang mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi mungkin tidak menyadari pentingnya perawatan kesehatan reproduksi yang tepat. Hal ini dapat mengakibatkan penundaan dalam mendeteksi atau mengobati masalah kesehatan reproduksi, seperti infeksi saluran reproduksi, gangguan menstruasi, endometriosis, dan gangguan hormonal lainnya. Keempat, stigma dan diskriminasi: remaja yang kurang mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi mungkin menghadapi stigmatisasi dan diskriminasi terkait dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Hal ini dapat berdampak negatif pada kepercayaan diri, kesehatan mental, dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan akurat penting untuk memberikan remaja pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang sehat dan bertanggung jawab terkait dengan kesehatan reproduksi mereka. Hal ini membantu mereka mengurangi risiko dampak negatif dan meningkatkan kesejahteraan fisik dan emosional mereka. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan reproduksi remaja adalah pendidikan seksual, perawatan kebersihan pribadi, gizi seimbang, aktivitas fisik, kesehatan mental dan menghindari perilaku berisiko.