Hoaks muncul sebelum pemilihan umum 17 April 2019 terjadi di Indonesia. Setelah serangkaian hoaks terkait dengan calon pasangan presiden dan wakil presiden yang menjadi sasaran, maka masuk tahapan hoaks hasil pemilu. Hoaks bahwa hasil pilpres di luar negeri telah dimenangkan oleh kubu Prabowo sudah dihembuskan dan diviralkan. Pada sisi lain, banyak kekisruhan penyelenggaraan pemilu yang terkesan amburadul dan tidak profesional. Kenapa pilpres di LN banyak yang terkesan kurang perencanaan? Ada apa?
Sebagai contoh, pemilu di Australia terjadi banyak pemilih yang tidak mendapatkan kesempatan menggunakan hak suaranya karena dinyatakan waktu penyelenggaraan telah habis, sekalipun mereka sudah menunggu berjam-jam sebelum waktu dinyatakan selesai. Penyelenggara pemilu terkesan tegas dan melakukannya sesuai prosedur, sebaliknya pemilih tentunya tidak memahami secara pasti apa peraturannya.
Yang terjadi adalah pemilih hanya bisa protes tanpa berargumentasi berdasarkan peraturan atau undang-undang yang berlaku. Bagi pemilih yang baru datang dari Indonesia dan tidak dapat menggunakan hak pilihnya dalam waktu 17.00 sampai dengan 18.00. Satu jam tentu tidak dapat menampung ratusan dan mungkin ribuan pemilih.
Apa yang terjadi setelah jam 18.00 panitia penyelenggara langsung menghentikan proses pemilunya. Apakah peraturannya demikian, tentu pemilih tidak memahami tapi panitia pasti memahaminya. Bukankah seharusnya pendaftaran pemilih di TPS ditutup pukul 18.00, tetapi bagi yang sudah hadir sebelum pukul 18.00 diberi tiket antri dan pemungutan suara diselenggarakan sampai selesai, misalnya seperti yang terjadi di Perancis.Â
Kekisruhan tidak hanya terjadi di Australia, kalau melihat banyak video yang viral rupanya terjadi pula di beberapa negara seperti Hong Kong, Jepang, Malaysia, dan Australia. Kejadian tersebut terkesan ada indikasi upaya mencegah pemilih yang teridentifikasi akan memilih salah satu kubu tertentu. Kantong-kantong suara kubu ini terjadi kekisruhan sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan menggunakan hak suaranya.Â
Melihat kilas balik kejadian yang selama ini telah terjadi di Indonesia, framing bahwa pemilu 2019 curang telah masif diviralkan dan dituduhkan oleh kubu tertentu. Nah, bisa saja bahwa sebenarnya ini adalah skenario besar yang saat ini sedang dimainkannya. Framing pemilu 2019 curang adalah rencana besar bagi kubu tertentu untuk meraih tujuannya. Kemungkinan berikut ini menjadi tujuannya:
1. Kubu yang menframing pemilu curang itu sebagai tindakan antisipasi sekaligus alasan untuk menuntut ke MK bahkan mengancam akan ada people power kalau calon presidennya kalah.
2. Hoaks kecurangan itu membangun kesan dan persepsi bahwa KPU dan Bawaslu tidak profesional dan berpihak pada salah satu calon. Dengan demikian rakyat menjadi percaya bahwa penyelenggaraan pemilu ini tidak adil dan tidak jujur, sehingga kalau kubunya kalah akan minta pembatalan dan pemilu ulang.Â
3. Kubu yang menframing pemilu curang ini sebenarnya sudah merencanakan kecurangannya di titik-titik yang diperkirakan akan kalah. Strategi menyerang lawan curang, sesungguhnya dirinya yang sudah punya rencana besar untuk melakukan kecurangan.Â
Kemungkinan poin tiga ini belum dipahami oleh kubu yang lawannya. Mereka sibuk menangkis serangan-serangan untuk menetralisir dan menyakinkan masyarakat bahwa penyelenggaraan pemilu dipastikan jujur dan adil. Mereka tidak memperhatikan gerakan di balik serangan-serangan tersebut. Gejala ini sudah mulai muncul di pemilu luar negeri. Ada indikasi bahwa panitia telah bertindak tidak netral.
Semoga penyelenggaraan pemilu di Indonesia berjalan lancar dan tidak ada kekisruhan, terlebih lagi tidak terjadi kecurangan yang mungkin dilakukan oleh dua belah pihak.