Angin segar mulai datang kepada industri. Beberapa minggu yang lalu, Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi menyatakan akan melakukan penyederhanaan tarif cukai secara bertahap. Bila saat ini ada 12 layer tarif cukai, pada tahun 2018, layer ditargetkan akan berkurang menjadi 8 atau 9 layer saja. Masih dalam waktu yang sama, Heru menyampaikan akan melakukan pengecilan gap antar layer untuk tarif cukai rokok pada tahun 2017.
Sungguh angin segar bagi industri rokok sekaligus perekonomian nasional. Selama ini tak banyak orang tahu bahwa lapisan tarif cukai yang rumit dan banyak ini adalah persoalan mendasar, tak hanya bagi industri rokok, tapi juga bagi penerimaan negara. Banyaknya lapisan tarif cukai disinyalir sebagai celah bagi produsen rokok untuk mencurangi tarif rokok guna mendapatkan tarif cukai yang lebih rendah.
Sebagai contoh pabrik rokok merek Sukaryo yang sebenarnya dikenai cukai Gol I dengan tarif Rp 480 rupiah, mengakali tarif cukai dengan cara seolah dibuat pabrik lain dan mengganti mereknya menjadi Parjo, Paimin dan Sunardi. Ketiga merek baru tersebut lantas diproduksi lebih sedikit dari ketentuan di tarif cukai Gol I, juga dibedakan lokasi pemasarannya. Tujuannya agar bisa masuk Gol II A dengan tarif RP 340 saja. Tarif cukai yang tinggi pun dapat diakali. Dengan layer yang banyak, ada juga cara – cara lainnya untuk mengakalinya. Akibatnya penerimaan negara hilang hingga triliunan rupiah. Negara dirugikan.
Celah ini menjadi semakin berbahaya apabila ide menaikkan harga rokok diterapkan. Terkait ini Yustinus Prastowo pernah membahasnya secara detail beberapa waktu yang lalu. Prastowo saat itu justru membantah keras adanya korelasi positif harga rokok tinggi dengan penurunan konsumsi rokok. Menurutnya harga rokok yang tinggi akan membuat para perokok berpindah ke rokok yang lebih murah.
Situasi ini menyebabkan pabrik rokok mengakali lapisan tarif cukai, memilih yang terendah agar harga rokok mereka terjangkau konsumen. Toh ada celah besar untuk bermain. Sebaliknyajika dibarengi penyederhanaan tarif cukai, pabrik semakin tak memiliki fleksibilitas untuk pindah ke produksi rokok murah karena aturannya mempersempit celah ini.
Pemerintah sebenarnya dahulu sudah pernah berencana melakukan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok guna menghindari adanya kebocoran cukai rokok. Namun rencana ini sangat lambat. Tidak pernah ada kejelasan bagaimana langkah penyusunan tarif cukai yang lebih sederhana. Entah apa sebabnya. Mungkin juga masih kuatnya lobi-lobi dagang yang tidak suka rencana ini.
Sejak awal kemunculan Sri Mulyani dalam kabinet, signal positif dialamatkan kepada kepemimpinan beliau, khususnya dibidang finansial. Terlalu lama dunia industri dan investasi “diganggu” oleh kebijakan-kebijakan tidak produktif. Industri mandeg dan jalan ditempat. Rencana penyederhanaan tarif cukai rokok adalah langkah maju untuk menghentikan hal penting yang tidak saja menjadi benalu bagi industri, tetapi juga bertendensi curang untuk mengelabui pajak negara. Semoga ide ini segera direalisasikan, jangan kalah oleh lobi-lobi dagang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H