- Pendahuluan
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) merupakan serangkaian contoh nyata dari perkembangan zaman dan kebebasan berpendapat, fenomena LGBT di Indonesia sendiri dapat terjadi dikarenakan perkembangan teknologi yang menyebabkan budaya menormalisasikan LGBT menjadi hal yang normal. Kini semakin banyak anak-anak hingga remaja di Indonesia menngakui secara terang-terangan bahwa dirinya termaasuk kedalam penyimpangaan ini. Alasan megapa saya mengatakan bahwa LGBT merupakan pemyimpangan adalah karena  berdasarkan pengertian yang telah diketahui tentang LGBT, semuanya merujuk pada satu kesamaan utaama yaitu kesenangan psikologis atau psikis yang kuat  untuk merangsang otak mereka sehingga mereka melakukan hubungan sesma jenis tidak seperti orang normal  pada umumnya yang melakukan hubungan lawan jenis.
Sejarah perkembangan, LGBT sendiri sudah dikenal sejak tahun 90-an untuk menyatakan identitas dari kaum gay atau kelompok-kelompok tertentu yang termasuk dalam kategori tersebut. Di Nusantara LGBT sendiri sudah tersebar sejak  tahun 2000-an, perkembangan tersebut menjadi  signifikan dikarenakan berakhirnya rezim orde baru pada 1998 yang menyebabkan kebebasan berpendapat dan berekspresi  menjadi meningkat. Pada awal  tahun 2000-an organisasi seperti GAYa Nusantara dan Arus Pelangi semakin aktif dalam mmemperrjuangkan hak-hak dari kaum inni melalui berbagai cara seperti advokasi, penyuluhan, dan penyelenggaraan acara-acara untuk meningkatkan kesadaran publik.
Kemajuan teknologi, terutama internet dan media sosial tentu berperan penting dalam perkembangan komunitas menyimpang ini, perkembangan media sosial menciptakan ruang bagi mereka untuk menyerukan suara mereka dan saling mendukung pada forum online, blog, hingga akun media sosial pribadi mereka. kaum LGBT ini menjadikan media sosial sebagai sarana utama untuk persebaran informasi dan menggalang banntuan. Selain itu, pada zaman sekarang muncul banyak karya sastra dan film yang memasukan unsur LGBT pada tema mereka yang semakin membantu membuka ruang diskusi untuk mentoleransi kaum yang menyimpang ini. Namun dengan meningkatnya eksistensi mereka di ruang online yang bersifat publik, tidak jarang mereka  mendapatkan serangan dari kelompok konservatif dan homophobia yang dapat berupa ujaraan kebencian maupun ancaman. Aktivis yang menyerukan tentang LGBT seringkali menjadi sasaran serangan digital oleh masyarakat online yang bahkan dapat menjadi intimidasi dan kekerasan di dunia nyata.
Respon sosial dan poolitik terhadap perkembangan LGBT seringkali sangat beragam dan kontradiktif, dari perspektif sosial, terdapat kelompok yang mendukung serta mengadvokasi hak-hak LGBT, terutama kalangan generasi muda yang sudah mulai terkena globalisasi dari budaya barat yang liberal. Namunn reaksi dari kelommpok konservatif yang masih kental dengan nilai-nilai agama dan budaya tradisional sangat menentang keras kelompok ini, seringkali penolakan terhadap kelopok ini diekspresikan dengan melakukan aksi protes, ujaran kebencian, stigma sosial yang melekat, bahkan bisa sampai mendiskriminasi orang yang tertangkap melakukan hubungan sesama jenis. Di tingkat politik, pemerintah seringkali mengambil sifat yang menunnjuukan ambivalensi, meskipun tidak terdapat undang-undang langsung mengenai homosexsualitas, berbagai kebijakan yang diskriminatif diterapkan secara  lokal pada beberapa daerah, sejumlah pejabat  publik daan tokoh agama secara terang-terangan menolak hak-hak LGBT, bahkan secara  terbuka menybut mereka sebagai ancaman terhadap moralitas masyarakat terutma generasi muda.
- Analisis Fenomena Perkembangan LGBT dengan Teori Liberalism
Analisis fenomena LGBT di Indonesia melalui lensa liberalisme menunjukkan bahwa perjuangan untuk pengakuan hak-hak individu dan kebebasan berekspresi menghadapi tantangan signifikan dari nilai-nilai tradisional dan respon konservatif. Teori liberalisme menekankan pentingnya hak asasi manusia dan peran masyarakat sipil dalam memfasilitasi perubahan sosial, yang tercermin dalam kemunculan organisasi advokasi seperti GAYa Nusantara dan Arus Pelangi. Meskipun media sosial berfungsi sebagai alat untuk memperluas akses informasi dan membangun dukungan, respons ambivalen pemerintah dan tekanan dari kelompok konservatif mengindikasikan adanya ketegangan antara norma-norma liberal dan tradisional. Dalam konteks ini, upaya untuk memperjuangkan kebebasan individu dan mengintegrasikan hak asasi manusia ke dalam kebijakan publik sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan, serta mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap komunitas LGBT.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI