"Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan/tartil (bertajwid)." - QS. Al-Muzammil: 73
Salam Sobat!
Alhamdulillah. Hari ini sudah masuk minggu kedua di bulan Ramadhan. Tak terasa, kita sudah berada di penghujung hari ke-10 pertama di bulan yang suci ini. Meskipun begitu, Ramadhan tahun ini, bagi saya, merupakan Ramadhan yang paling miris. Mengingat lokasi kampus saya (UNPAD) yang cukup jauh dari rumah saya di Tangerang, saya harus rela menghabiskan waktu ber-Ramadhan ria di Jatinangor. Ditambah kegiatan saya untuk mengikuti semester pendek, membuat konsentrasi saya jadi terpecah-pecah; yang niatnya mau fokus memperbanyak ibadah, tapi justru dibaku hantam sama textbooks dan bahan bacaan yang menggunung. He he.
Oke, masuk ke topik.
Suatu hari, saya pulang larut malam. Kegiatan di kampus yang seabreg, sekaligus saya harus mengejar deadline paper untuk kelas Survey of American Literature, membuat saya harus membetahkan diri di kampus. Hari itu menjelang puasa hari pertama. Saya teringat bahwa malam ini ada shalat tarawih. Saya pun mencari lokasi masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampus dan akhirnya menemukan sebuah masjid di daerah X. Sesampainya di sana, saya langsung ambil air wudhu dan segera shalat maghrib. Tidak lama kemudian, setelah shalat isya berjamaah, shalat tarawih pun dimulai. Sebelum imam maju, seorang bapak memberikan pilihan berapa banyak rakaat yang akan dijalankan. Pilihannya ada tiga (sudah termasuk shalat witir): 11 rakat, 23 rakaat, dan 35 rakaat. Saya  kurang yakin apakah itu 35 rakaat karena si bapaknya berbicara dalam bahasa Sunda, yang belum sepenuhnya saya pahami. Akhirnya, para jamaah sepakat memilih pilihan yang kedua.
Imam pun takbir.
Lalu melanjutkan bacaannya dengan surat Al-Fatihah, yang membuat saya terkagum-kagum!
Surat itu dibaca tidak lebih dari 15 detik! Ia pun melanjutkan dengan surat Al-Kafirun (kalau tidak salah) yang ia selesaikan hanya dalam waktu 10 detik. Begitu seterusnya. Rukuk, i'tidal, sujud, berdiri lagi, seterusnya secepat itu. Itu betul-betul shalat yang paling cepat yang pernah saya lakukan!
Setelah 8 rakaat shalat tarawih selesai, beberapa jamaah bangun dari tempat duduknya dan meninggalkan barisan/shaf. Sisanya terus tetap duduk dan mengikuti hingga akhir rakaat, yaitu 20 rakaat. Masalah lain muncul. Saat rakaat ke 15/16, sang imam pun mulai membacakan surat pendek (setelah surat Al-Fatihah) , mengingat tempo yang begitu cepat, dengan grasa-grusu. Seperti berkumur. Tidak jelas apa hurufnya dan bahkan saya sulit untuk menebak itu surat apa, yang membuat saya--dan mungkin beberapa jamaah lain--"terseret-seret" untuk mengikuti dan meresapi makna surat tersebut. Dalam benak saya, muncul pertanyaan: kira-kira apa ya yang didapat dari shalat semacam itu? Di mana letak kekhusyukannya? Apa hanya ingin mengejar 20 rakaat lalu ingin mempercepat segala sesuatunya, bahkan tidak memperhatikan bacaan? Padahal kejelasan bacaan itu satu dari berbagai aspek paling krusial yang  meng-khusyuk-kan shalat?
Saya pun tersentil. Ternyata, seperti ini tho rasanya shalat cepat-cepat. Tidak enak. Kurang ada esensinya. Yang ada semua persendian kita dibuat agak pegal karena harus berpindah-pindah posisi dari rukuk-berdiri-sujud-duduk-berdiri lagi dalam waktu yang relatif singkat. Walhasil, ada di beberapa bagian, bacaan yang harusnya dibaca hingga habis, menjadi kurang lengkap, seperti bacaan tahiyat akhir. Ditambah lagi, gerakan-gerakan sholat yang dilakukan sangat cepat seperti ini akan membuat si orang yang melakukannya merasa agak "letoy" dan terkesan malas-malasan untuk berdiri, yang seharusnya dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan ketakutan di hadapan Tuhan.
Entahlah. Menurut saya, kebiasaan-kebiasaan shalat seperti ini sudah menjadi tradisi di berbagai kalangan masyarakat. Pengabaian-pengabaian hal-hal remeh seperti ini yang sudah terlanjur mengakar kuat dalam paradigma masyarakat, justru menimbulkan hal-hal yang agak kontradiktif. Namun terkadang mereka tidak sadar. Kita tidak sadar bahwa bentuk-bentuk pengabaian tersebut sudah menjadi racun bagi masyarakat di dalamnya untuk terus menerus mengikuti jalur yang mereka buat sendiri. Al-Quran padahal sudah  menegaskan bahwa membaca Al-Quran (ayat-ayat Allah) haruslah diresapi, dimaknai, dan di"dengar."